oleh; Feri Kusuma
SUATU
pagi hari Rabu, sekitar pukul tujuh, Dara Thursina mulai mengayunkan langkah
menyusuri lorong rumahnya. Rambutnya dikepang dua. Bibirnya yang mungil dipoles
gincu merah jambu. Tapi sebentar lagi gincu itu akan luntur, seiring dengan
ingus yang mengalir dari kedua lubang hidungnya. Langkahnya lebih cepat dari
biasa. “Hari ini, adek ceria sekali,”
kata ibundanya.
“Adek
mau ketemu ayah,” celotehnya.
Salihan tersenyum, perih, seraya menatap lekat sepasang mata putrinya. “Dia sering bertanya ayah itu apa. Saya hanya menunjuk ke foto ayahnya yang terpampang di pintu kamar. Begitulah saban hari,” kata Salihan, sambil menahan air mata.
Pagi itu tanggal 20 Agustus 2008, Salihan membawa Thursina mengikuti
demontrasi keluarga korban penghilangan paksa di Kota Banda Aceh. Aksi ini
diikuti ratusan orang, kebanyakan perempuan yang suaminya hilang pada masa
konflik dengan mengenakan kaos hitam pekat yang bertuliskan “Mencari Jejak yang
Hilang.”
Mereka
mengacungkan foto-foto korban orang hilang yang mereka tempel pada sehelai
kertas karton sambil berteriak lantang “kembalikan suami kami.” Aksi ibu-ibu
istri korban penghilangan orang ini sempat menarik perhatian warga yang
lalu-lalang di jalan. Inilah aksi pertama istri-istri korban kasus penghilangan
paksa yang tergolong berani setelah Aceh damai.
Mereka
bergerak dari jembatan Pante Pirak, lalu berhenti sejenak di depan Mess
Prajurit Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Kodam IM). Kemudian menyusuri
jalan menuju ke kantor DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Thursina bersama
ibundanya berada di barisan paling depan. Dia makin girang melihat orang ramai
di jalan. Tak mengeluh kepanasan, meski matahari bersinar terik. Tangannya
memegang sebuah foto korban orang hilang yang digantungkan dilehernya.
Gadis
kecil ini belum mengenal sosok ayah mungkin mengira akan bertemu dengan ayahnya
pada hari itu. Ayahnya, Usman Ali
diculik oleh anggota TNI pada 22 Juni 2002, saat usia Thursina baru berusia
tiga bulan dalam kandungan ibunya. Serdadu datang mengobrak-abrik isi rumah,
merampas uang simpanan Salihan sebanyak
1,5 juta rupiah, dan dua unit handphone. Lalu
entah apa gerangan, Usman Ali diseret keluar rumah. Salihan berusaha mencegah,
tapi tak kuasa sampai akhirnya ia terjatuh pingsan. Usman Ali dibawa dan
menghilang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya. Entah masih hidup, entah
sudah meninggal, wallahhualam, hanya Allah yang tahu.
Kejadian
seperti yang dialami oleh ayah Thursina kerap terjadi pada masa operasi militer
di Aceh. Namun Pemerintah dan militer Indonesia tak pernah memberitahu
keberadaan mereka yang telah dihilangkan, bahkan tidak pernah mau mengakui
tindakannya. Akibatnya kasus-kasus penghilangan orang secara paksa tetap tak
terselesaikan sampai detik ini.
Ketidakjelasan
nasib mereka yang hilang membawa penderitaan berat bagi keluarganya yang
ditinggalkan. “Kondisi psikologis orang yang ditinggalkan akan membuat ia terus
bertanya seumur hidup sebelum korban ditemukan. Dititik inilah kekejian tindakan
penghilangan orang secara tidak langsung,” ujar Afridal Darmi, Direktur LBH
Banda Aceh.
“Doa lon menyou mantong hudep beu meupat
alamat jeut mangat kamo jak saweu dan jeut mangat tenang hate nyo. Meunan cit
meunyo ka matee beumupat jirat, jeut mangat lon peugah bak aneuk, beu meupat
kamo jak ziarah. (doa saya, kalau masih hidup diberitahu di mana alamatnya,
supaya kami dapat berkunjung dan hati ini menjadi tenang. Begitu juga kalau
sudah mati dikasih tahu kuburannya, supaya bisa saya ceritakan sama anak-anak,
dan kami bisa menziarahinya),” kata Salihan.
Sejak
suaminya diculik, Salihan harus menggantikan peran suaminya sebagai kepala
keluarga menghidupi ketiga anaknya. Anak sulungnya Sunardi terpaksa berhenti
sekolah untuk bekerja sebagai kuli bangunan untuk membantu ibunya. Kehidupan
Salihan sangat prihatin. Rumah yang ia tempati terbuat dari dinding papan dan
atap rumbia yang telah lapuk digerogoti rayap dan bocor di sana-sini. Kalau
hujan turun, seisi rumanya basah. Salihan pernah menerima bantuan dana diyat
sebesar Rp. 3 juta pada tahun 2006. Cuma itu sekali. Setelah itu tidak pernah
mendapat bantuan apapun dari pemerintah.
Berbagai
upaya telah dilakukan oleh keluarga korban dan para pembela untuk mengetuk
pintu hati penguasa. Data-data korban hilang telah mereka serahkan kepada
Pemerintah, dan Komnas HAM. Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM), ketika menerima
laporan korban berjanji akan membentuk Komisi Penyelidikan Penyelesaian HAM dan
menindaklanjuti laporan masyarakat dengan mendorong terbentuknya Pengadilan HAM
Ad Hoc untuk Aceh serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Pada
aksi hari itu, para keluarga korban juga menyerahkan data kasus orang hilang
kepada DPRA yang diterima oleh Ketua Komisi A DPRA, Khairul Amal. “Saya berharap dokumen ini tidak dibuang ke
tempat sampah,” kata Ali Zamzami, mewakili keluar korban.
Setelah
menyerah dokumen, para ibu-ibu pulang ke rumahnya masing-masing pertanda aksi
hari itu sudah selesai. “Saya berharap pemerintah mengetahui keberadaan suami
saya, hidup atau pun mati,” harap Salihan.
Thursina
mengapit tangan ibunya. Lalu beranjak pulang ke kampungnya di Aceh Besar.*
0 komentar:
Posting Komentar