Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Rabu, 19 Februari 2014

Thursina Ingin Ketemu Ayah



oleh; Feri Kusuma

SUATU pagi hari Rabu, sekitar pukul tujuh, Dara Thursina mulai mengayunkan langkah menyusuri lorong rumahnya. Rambutnya dikepang dua. Bibirnya yang mungil dipoles gincu merah jambu. Tapi sebentar lagi gincu itu akan luntur, seiring dengan ingus yang mengalir dari kedua lubang hidungnya. Langkahnya lebih cepat dari biasa. “Hari ini, adek  ceria sekali,” kata ibundanya.

“Adek mau ketemu ayah,” celotehnya.

Salihan tersenyum, perih, seraya menatap lekat  sepasang mata putrinya. “Dia sering bertanya ayah itu apa. Saya hanya menunjuk ke foto ayahnya yang terpampang di pintu kamar. Begitulah saban hari,” kata Salihan, sambil menahan air mata.

Pagi itu tanggal 20 Agustus 2008, Salihan membawa Thursina mengikuti demontrasi keluarga korban penghilangan paksa di Kota Banda Aceh. Aksi ini diikuti ratusan orang, kebanyakan perempuan yang suaminya hilang pada masa konflik dengan mengenakan kaos hitam pekat yang bertuliskan “Mencari Jejak yang Hilang.”

Mereka mengacungkan foto-foto korban orang hilang yang mereka tempel pada sehelai kertas karton sambil berteriak lantang “kembalikan suami kami.” Aksi ibu-ibu istri korban penghilangan orang ini sempat menarik perhatian warga yang lalu-lalang di jalan. Inilah aksi pertama istri-istri korban kasus penghilangan paksa yang tergolong berani setelah Aceh damai.

Mereka bergerak dari jembatan Pante Pirak, lalu berhenti sejenak di depan Mess Prajurit Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Kodam IM). Kemudian menyusuri jalan menuju ke kantor DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Thursina bersama ibundanya berada di barisan paling depan. Dia makin girang melihat orang ramai di jalan. Tak mengeluh kepanasan, meski matahari bersinar terik. Tangannya memegang sebuah foto korban orang hilang yang digantungkan dilehernya.

Gadis kecil ini belum mengenal sosok ayah mungkin mengira akan bertemu dengan ayahnya pada hari itu.  Ayahnya, Usman Ali diculik oleh anggota TNI pada 22 Juni 2002, saat usia Thursina baru berusia tiga bulan dalam kandungan ibunya. Serdadu datang mengobrak-abrik isi rumah, merampas uang simpanan Salihan  sebanyak 1,5 juta rupiah, dan dua unit handphone. Lalu entah apa gerangan, Usman Ali diseret keluar rumah. Salihan berusaha mencegah, tapi tak kuasa sampai akhirnya ia terjatuh pingsan. Usman Ali dibawa dan menghilang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya. Entah masih hidup, entah sudah meninggal, wallahhualam, hanya Allah yang tahu.


Kejadian seperti yang dialami oleh ayah Thursina kerap terjadi pada masa operasi militer di Aceh. Namun Pemerintah dan militer Indonesia tak pernah memberitahu keberadaan mereka yang telah dihilangkan, bahkan tidak pernah mau mengakui tindakannya. Akibatnya kasus-kasus penghilangan orang secara paksa tetap tak terselesaikan sampai detik ini.

Ketidakjelasan nasib mereka yang hilang membawa penderitaan berat bagi keluarganya yang ditinggalkan. “Kondisi psikologis orang yang ditinggalkan akan membuat ia terus bertanya seumur hidup sebelum korban ditemukan. Dititik inilah kekejian tindakan penghilangan orang secara tidak langsung,” ujar Afridal Darmi, Direktur LBH Banda Aceh.

Doa lon menyou mantong hudep beu meupat alamat jeut mangat kamo jak saweu dan jeut mangat tenang hate nyo. Meunan cit meunyo ka matee beumupat jirat, jeut mangat lon peugah bak aneuk, beu meupat kamo jak ziarah. (doa saya, kalau masih hidup diberitahu di mana alamatnya, supaya kami dapat berkunjung dan hati ini menjadi tenang. Begitu juga kalau sudah mati dikasih tahu kuburannya, supaya bisa saya ceritakan sama anak-anak, dan kami bisa menziarahinya),”  kata Salihan.

Sejak suaminya diculik, Salihan harus menggantikan peran suaminya sebagai kepala keluarga menghidupi ketiga anaknya. Anak sulungnya Sunardi terpaksa berhenti sekolah untuk bekerja sebagai kuli bangunan untuk membantu ibunya. Kehidupan Salihan sangat prihatin. Rumah yang ia tempati terbuat dari dinding papan dan atap rumbia yang telah lapuk digerogoti rayap dan bocor di sana-sini. Kalau hujan turun, seisi rumanya basah. Salihan pernah menerima bantuan dana diyat sebesar Rp. 3 juta pada tahun 2006. Cuma itu sekali. Setelah itu tidak pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh keluarga korban dan para pembela untuk mengetuk pintu hati penguasa. Data-data korban hilang telah mereka serahkan kepada Pemerintah, dan Komnas HAM. Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM), ketika menerima laporan korban berjanji akan membentuk Komisi Penyelidikan Penyelesaian HAM dan menindaklanjuti laporan masyarakat dengan mendorong terbentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Aceh serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Pada aksi hari itu, para keluarga korban juga menyerahkan data kasus orang hilang kepada DPRA yang diterima oleh Ketua Komisi A DPRA, Khairul Amal.  “Saya berharap dokumen ini tidak dibuang ke tempat sampah,” kata Ali Zamzami, mewakili keluar korban.

Setelah menyerah dokumen, para ibu-ibu pulang ke rumahnya masing-masing pertanda aksi hari itu sudah selesai. “Saya berharap pemerintah mengetahui keberadaan suami saya, hidup atau pun mati,” harap Salihan.

Thursina mengapit tangan ibunya. Lalu beranjak pulang ke kampungnya di Aceh Besar.*

0 komentar:

Posting Komentar