Oleh; Feri Kusuma
MENGAPA proses pembentukan KKR dan
Pengadilan HAM di Aceh terlambat, bahkan terkesan tidak tidak sungguh-sungguh
untuk dibentuk? Baik Eksekutif maupun Legislatif sama-sama melempem begitu
bicara tentang hak-hak keadilan hukum bagi para korban pelanggaran HAM masa
lalu. Tiba-tiba seluruh pemangku tanggungjawab politik dan hukum di Aceh
seperti lupa pada pahitnya derita konflik semasa GAM berperang melawan
TNI. Seakan mereka lupa bahwa konflik bersenjata berkepanjangan di Aceh
telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan mengerikan. Ribuan orang, mayoritas
warga sipil, meninggal, hilang, disiksa, dipenjara, dan diperkosa selama
operasi militer berlangsung di Aceh.
Beruntung setelah melalui proses yang
panjang dan rumit sebuah kesepakatan damai berhasil dicapai melalui Nota
Kesepahaman pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia.
Baik Pemerintah Indonesia dan GAM menegaskan komitmen mereka untuk
menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan
bermartabat bagi semua. Kedua pihak menyepakati hal-hal yang terkandung dalam
MoU Helsinki. Parlemen Indonesia mengkodifikasi MoU dengan mengesahkan
Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), 11 Juli 2006 (UU No.11/2006). Sebuah
aturan yang mengatur pemerintah lokal Aceh dibawah sistem otonomi, mengelola
urusan sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Salah satu point penting yang
disebutkan dalam MoU Helsinki dan UUPA adalah bagaimana pemerintah Aceh dan
pemerintah Nasional menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu di
Aceh. Hal ini disebutkan dalam artikel 229, bahwa kemungkinan menemukan
kebenaran dan mencapai rekonsiliasi pada kasus hak asasi manusia di masa lalu
dengan mendirikan KKR di Aceh yang merupakan bagian integral dari KKR
Nasional/Indonesia. Tanggal 7 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi (MK)
membatalkan Undang-undang No. 27/2004 tentang KKR melalui putusan No.
006/PUU-IV/2006.
Menurut mantan ketua MK, Jimly
Asshidiqie, meski MK telah mencabut UU KKR, KKR untuk Aceh tetap bisa dibentuk.
Pembentukannya bisa didasarkan pada UUPA. KKR Aceh tidak terkait dengan UU KKR.
Itu ada kaitannya dengan UUPA sendiri. (detiknews. 8/12/2006)
Secara asas peraturan
perundang-undangan, UUPA berlaku asas lex specialist derogate lex
generalist (peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang
umum). Elemen masyarakat sipil di Aceh terus mendesak Pemerintah Aceh agar
segera membentuk KKR di Aceh melalui Qanun (peraturan daerah). Elemen sipil
percaya bahwa berurusan dengan masa lalu adalah hal terpenting dalam rangka
menjaga perdamaian dan mencapai rekonsiliasi di Aceh. Perdamaian dan rekonsiliasi
di Aceh dapat dipertahankan jika masalah masa lalu diselesaikan dengan cara
yang adil dan terbuka. Jika kasus masa konflik tidak diselesaikan maka sejarah
konflik kekerasan akan berulang.
Desakan ini mendapat respon positif
dari Gubernur Aceh dan Wakilnya pada awal-awal pemerintahan mereka. Irwandi
Yusuf mengatakan sepakat bahwa pembentukan KKR Aceh perlu segera mungkin
dilakukan dalam rangka mendorong proses perdamaian secara tuntas terutama
ditingkat masyarakat yang telah terbelah karena konflik berkepanjangan.
Pembentukan KKR Aceh juga untuk mendorong upaya penegakan HAM di Aceh dan
korban dari berbagai pelanggaran HAM untuk mendapatkan hak-haknya berupa
rehabilitasi dan kompensasi. (http://beritasore.com/2007/05/15/kkr-aceh-tetap-dibentuk)
Pernyataan yang sama disampaikan oleh
wakil gubernur Aceh, Muhammad Nazar. Dia mengatakan Pemerintah Aceh sudah
menyatakan tekad menangani berbagai pelanggaran HAM masa lalu. Tekad tersebut
segera diwujudkan dengan membentuk KKR. Target pemerintah Aceh pada 2007, KKR
harus sudah terbentuk.(Rakyat Aceh.com, 23 Januari 2007).
Pertemuan reguler Commission on
Sustaining Peace in Aceh (CoSPA) juga membahas terkait KKR Aceh. Pimpinan
pertemuan CoSPA, Ir. Azwar Abu Bakar (sekarang Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi/Menpan RB), mengatakan Pengadilan HAM dan KKR
Aceh merupakan amanat MoU, dan CoSPA mendesak pemerintah pusat mempercepat
pembentukan pengadilan HAM dan KKR untuk Aceh.
Pada tanggal 29 April 2008, dalam
rapat yang digelar di Sekretariat Forbes Damai Aceh, Kompleks Taman Ratu
Safiatuddin, Banda Aceh, anggota Forbes Damai Aceh sepakat untuk membahas
Rancangan Qanun (Raqan) KKR. Tugas ini kemudian dilaksanakan oleh Badan
Narasumber Damai Aceh atau Aceh Peace Resouces Center (APRC). Kemudian Gubernur
Aceh melalui keputusannya No. 188.342/37/2008, tanggal 8 April 2008, membentuk
tim pra Raqan KKR. Tim ini terdiri dari sedikitnya 40 pakar (dua diantaranya
dari Jerman), akademisi dan praktisi dilibatkan pemerintah dalam menyusun satu
draf Raqan KKR.
Ketua Crisis Management Initiative
(CMI) dan Interpeace Peacebuilding Alliance Martti Ahtisaari, ketika berkunjung
ke Indonesia, 7 Mei 2008, juga mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tentang KKR Aceh yang belum terbentuk.
Kemudian elemen masyarakat sipil Aceh
terdiri dari korban dan para pegiat HAM yang tergabung dalam Koalisi
Pengungkapan Kebenaran (KPK) menyusun Draf Qanun dan Naskah Akademik KKR versi
masyarakat sipil. KKR usulan KPK menjabarkan proses pengungkapan kebenaran
ditingkat lokal yang dirancang dan dilaksanakan di Aceh. Tujuan utamanya,
mendengarkan pengalaman dan harapan korban. Selain itu adanya pengakuan tentang
apa yang dialami korban dan pemenuhan terhadap hak-hak fundamental korban. Draf
sudah diserahkan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Desember
2008. Namun sayangnya tak ada pembahasan sampai akhir masa tugas DPRA periode
yang lalu itu.
Pemerintah Aceh juga mulai mengingkari
janji awalnya. Irwandi mengatakan konflik yang terjadi bukan antara rakyat Aceh
dengan rakyat Aceh, tapi antara pemerintah pusat dengan Aceh. (serambi
indonesia, 18 Agustus 2010). Pembentukan KKR Aceh membutuhkan dana besar.
Jadi tidak cukup kalau dibentuk dengan Qanun. (serambi indonesia, 18
Agustus 2010)
DPRA periode 2009-2014, juga tak bisa
diharapkan. Meskipun pada tanggal 10 Desember 2010, Hasby Abdullah (Ketua
DPRA), Sulaiman Abda (Wakil Ketua I), Tgk. Ramli (Ketua Fraksi Partai Aceh), H.
Fuady Sulaiman (Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Tgk. Muhibbusabri AW
(Partai Daulat Aceh), telah menandatangani komitmen akan membahas dan mensahkan
Qanun KKR Juli 2011.
Tahun 2011, dari 31 Raqan prioritas
2011, cuma sembilan qanun yang disahkan, tidak termasuk Qanun KKR. Kondisi ini
sangat menyedihkan mengingat korban dan masyarakat sipil secara terus menerus
mengingatkan eksekutif dan legislatif agar KKR Aceh terbentuk dengan melakukan
berbagai upaya; seperti melakukan pengungkapan kebenaran (testimonial),
pembuatan monumen pelanggaran HAM dan peringatan peristiwa pelanggaran HAM, dan
Museum HAM.
Pembentukan KKR sebagai sikap negara
yang mau mengakui kesalahan masa lalu, menghargai dan menghormati korban
dan political will untuk merubah perilaku institusi dan
kebijakan. Tapi saya kurang yakin dalam dalam lima tahun kedepan ini KKR Aceh
akan terbentuk jika mengamati situasi politik akhir-akhir ini. Meski pun Badan
legislasi (Banleg) DPRA memasukan lagi draf Qanun KKR dalam Prolega 2012.
Semoga saja prediksi saya ini salah. Kita lihat saja nanti.*
0 komentar:
Posting Komentar