Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Kamis, 17 November 2011

Jembatan Kuala Tripa



Ekonomi - 2008-07-31 | 1138 Kata | 1045 Hits
Oleh : Feri Kusuma

NAMA Kuala Tripa bagi sebagian orang Aceh sudah tak asing lagi. Di kota Banda Aceh, di samping Taman Sari, di Jalan Masjid Raya No. 24, hotel itu pernah berdiri. Ini hotel berbintang tiga. Namanya diambil dari nama sebuah kampung.

Kampung Kuala Tripa terletak di kecamatan Darul Makmur, kabupaten Nagan Raya. Ia di lintas Barat-Selatan yang terkenal dengan panaromanya yang indah. Pasir putih. Bukit-bukit menjulang tinggi. Air sungai bening yang mengalir ke muara.

Selain Kuala Tripa, di kecamatan Darul Makmur 15 desa lain, yaitu Kuala Tadu, Cot Mu, Drien Tujoh, Babak Lueng, Kuta Makmu, Lueng Kebue Jagat, Pante Rawa, Desa Gabu, Pasie Kebeu Dong, Lubuk Ye, Petuah Puteh, Mon Dua, Unjung Krueng, Panton Pange dan Lami. Keseluruhan penduduk kurang lebih 4.000 kepala keluarga. Data ini berdasarkan keterangan dari warga di sana, bukan statistik resmi.

Kebun kelapa sawit milik perusahaan Soccindo membentang luas mengelilingi rumah penduduk setempat dan warga transmigrasi di Kuala Tripa. Hasil kebun ini melimpah ruah, ratusan ton. Mata pencarian warga kebanyakan petani kebun.

Gempa tektonik yang disusul gelombang tsunami pada hari minggu tanggal 26 Desember 2004 silam telah menghapus nama Hotel Kuala Tripa dari daftar nama-nama hotel berbintang di Banda Aceh sekarang. Hotel ini roboh dan belum dibangun lagi.

Bencana Alam terbesar di abad ke-21 itu juga menghantar warga Kuala Tripa ke dalam kondisi yang memprihatinkan.

"Kami seperti berada di sebuah pulau yang jauh dari transportasi dan terisolir. Setiap hari kami di sini harus menyetor lima ribu rupiah pada pos penjagaan. Layaknya seperti berkendaraan menggunakan jalan tol," kata Darmawan, pegawai honorer Dinas Kesehatan.

Jarak ke Kuala Tripa dari simpang Tiga Langkak, kabupaten Nagan Raya, kurang lebih 24 kilometer. Jalan menuju desa ini dibangun oleh pemerintah pada tahun 1970-an.

"Tempo dulu jalan ini sering digunakan oleh angkutan umum seperti L-300, Bus PMTOH, bahkan mobil pribadi yang lalu lalang Banda Aceh-Medan," kata Muhammad Ali Cut, warga desa Kuala Tripa.

Seiring perjalanan waktu dan bergantinya pemimpin daerah atau bupati setempat, jalur transportasi umum Medan-Banda Aceh pun pindah alamat. Sekarang ke arah jalan simpang Empat Jeuram. Sementara jalan lama ini tidak dipakai lagi alias terabaikan. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda ia akan dibangun lagi.

Sekarang jalan selebar enam meter ini dipenuhi puluhan lubang raksasa. Seperti kubangan kerbau. Pasir bercampur kerikil dibawa air pasang bertumpuk membentuk bukit-bukit kecil di badan jalan. Air laut bercampur aduk dengan air rawa menggenangi lubang sedalam lutut orang dewasa ini. Airnya keruh kekuningan, berminyak. Kalau sering-sering kena kulit, Anda bisa terjangkit penyakit gatal-gatal.

Sepanjang tiga kilometer dari kampung Cot Mu sampai kampong Kuala Tadu, kurang lebih seratus lubang besar dan kecil berserakan di atas badan jalan.

"Kondisi jalan seperti ini kami alami sejak tsunami.,” kata Ali.

"Kalau begini terus mendingan tidak usah saja ada pemerintah," cetus Tengku Amad, yang juga warga Kuala Tripa.

Di musim hujan ketinggian air bisa mencapai satu meter lebih menutupi jalan. Hal serupa juga terjadi waktu air laut pasang. Warga terpaksa menunggu berjam-jam sampai airnya surut baru dapat melanjutkan perjalanan. Letak jalan ini hanya terpaut 20 meter dari mulut pantai atau laut.

Jika air laut ini mengenai mesin kendaraan, baik roda dua ataupun mobil bisa langsung jim alias mati.

"Karena campuran air laut dengan air rawa, besi saja bisa langsung berkarat," kata Tengku Amad, lagi.

Nama asli Tengku Amad adalah Mumamad Afdal. Ia pernah punya pengalaman buruk dengan jalan ini.

Suatu hari ia ada keperluan penting dengan atasannya di Simpang Langkak. Tiba-tiba di Cot Mu air laut pasang. Karena tergesa-gesa, sepeda motornya tercebur ke lubang. Alhasil sepeda motornya jim di tempat.

“Aku terpaksa mengeluar kocek dua ratus ribu memperbaiki kereta," katanya.

"Kejadian-kejadian serupa sering dialami oleh warga yang melintasi jalan ini," kata Ali Cut.

Kerusakan jalan berdampak ke berbagai hal, termasuk proses belajar-mengajar.

"Jalan adalah kelancaran bagi kami untuk mengajarkan anak didik kami di kampung ini. Tapi kalau seperti ini jalannya, kami selalu terlambat tiba di rumah sekolah. Padahal berangkat dari rumah jam 07.00. Tapi karena kondisi jalan selalu banjir akibat pasang, kami terlambat masuk kelas. Kalau bisa, pemerintah cepat membangun jalan ini. Sayang warga di sini, apalagi anak-anak sekolah. Proses belajar mengajar bisa terhambat,” kata Edi Fitri, guru Sekolah Dasar Cot Mu.

"Kalau ujian final atau mid tes terpaksa nyusul, kadang-kadang karena terlambat datang. Final jam 08.30, sementara tiba di kampus jam 11.00, akibat kondisi jalan seperti ini. Apalagi kalau pasang, terpaksa pulang tidak bisa pergi kuliah," keluh Zulhelmi. Ia mahasiswa semester dua Universitas Iskandar Muda, Meulaboh.

Namun, tak semua orang memperoleh pemakluman seperti yang diterima Zulhelmi.

Herman, pelajar kelas tiga Sekolah Menengah Atas Perdamaian, Nagan Raya, justru dianggap berbohong oleh gurunya.

"Mereka bilang, ‘kok tiap hari kampung kamu banjir’. Kadang-kadang diberi sanksi memungut sampah di sekolah. Padahal kenyataannya seperti inilah," katanya.

Akhirnya warga kampung Cot Mu membuat jalan alternatif, dengan alat dan modal seadanya. Tanpa donatur dan bantuan pemerintah.

Warga membuat titi-titi (jembatan) kecil untuk menyeberangi lubang-lubang. Jembatan ini dibikin dari kepingan papan tua., balok seng ukuran 4 x 4 sentimeter, dan kayu-kayu besar yang dipancang. Tingginya satu meter dari badan jalan. Masa operasinya sudah dua tahun.

Jembatan ini hanya bisa dilalui sebuah sepeda motor dengan seorang pengemudi. Tidak bisa berboncengan. Kalau mengedarai sepeda motor berdua, terpaksa yang satu harus turun dan berjalan kaki.

"Jembatan ini kami buat karena sayang pada anak-anak sekolah, guru, mahasiswa tiap hari lalu lalang di jalan ini. (tapi) gara-gara genangan air itu mereka terlambat," kata Ismail, sambil mengambil uang setoran dari pengguna jalan. Ia juga arsitek jembatan ini.

"Ada dua puluh tiga jembatan penyeberang yang sudah dibangun. Itu diprioritaskan untuk di tempat yang ukuran lubang terlalu besar dan dalam. Yang sulit dilintasi oleh sepeda motor,” katanya.

Uang pembangunan jembatan berasal dari setoran warga yang melewati jalan ini, pulang pergi. Sekali lewat harus membayar Rp5.000. Pulang-pergi artinya, Rp 10.000.

"Kemungkinan lubang akan bertambah apalagi kalau sering air pasang. Ya pokoknya selama jalan ini masih belum dibangun secara permanent," ujar Ismail.

"Setiap harinya ada sekitar seratus kendaraan roda dua melintasi di jalan ini,” katanya.

“Uang tol” bagi pengguna jembatan memang tak murah. Tapi lebih baik ketimbang kendaraan mereka jadi rusak.

"Kalau masuk ke dalam air bisa lebih besar lagi pengeluarannya," kata Darmawan.

"Daripada keluarin uang 25.000 untuk ganti oli kalau masuk dalam air, lebih baik bayar lima ribu," kata Tengku Amat.

"Sayangnya kalau lagi tidak memiliki uang, kalau mau keluar dari desa ini terpaksa hutang dulu. Tidak enak kalau cuma lewat gratis, orang juga pakai tenaga dan waktunya untuk membuat jembatan. Kadang-kadang penjaga pos paham juga. Uang itu juga bukan untuk kepentingan pribadi penjaga pos tapi untuk membeli bahan-bahan," kata Ali.

Namun, bagaimana pun jembatan itu tetap sarana darurat. Lagipula biaya yang dikeluarkan warga untuk melewatinya tetap saja besar. Kalau jalan tol pasang tarif, itu masuk akal. Ini cuma jembatan kecil dan keamanan si pengguna pun tidak terjamin. Kalau sampai jatuh ke lubang, ya sudah risiko.

"Ini sangat menyulitkan kami. Kondisi seperti ini seharusnya sudah mulai dipikirkan oleh pemerintah setempat. Harapan kami dalam tahun 2008 ini pemerintah sudah mulai menganggarkan dana untuk pembangunan jalan ini," kata Ali.

"Kalau seperti ini terus, capek juga,” kata Zulhelmi.***


*)
Feri Kusuma adalah kontributor Aceh Feature. Dia adalah anggota Badan Pekerja Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh.

0 komentar:

Posting Komentar