Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Kamis, 17 November 2011

Antara Pembalak dan Kerbau


Oleh : Fery Kusuma


JUDUL berita di suratkabar Serambi Indonesia pada tanggal 4 Juni 2008 itu menarik perhatian saya: “Pasukan Bersenjata Serbu Nisam Antara”. Kalimat-kalimat ini tertera di alinea pertama: “Sedikitnya 30-an orang bersenjata yang mengenakan atribut lengkap, pada tanggal 30-31 Mei mendatangi dusun Jabal Antara, desa Alue Dua, kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara. Kedatangan kelompok ini telah menyebabkan terjadinya pembakaran rumah-rumah warga, sepeda motor dan sebagainya”.

Serambi adalah media lokal terbesar di Aceh. Suratkabar ini telah berusia 22 tahun. Tak ada orang Aceh yang tak kenal Serambi.

Setelah membaca berita tersebut, sekitar pukul 11.00 saya pun berangkat ke Nisam Antara. Sebagai aktivis hak asasi manusia, saya harus mencari informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia di sana. Bukti-bukti itu berguna untuk melakukan pembelaan terhadap korban.

Perjalanan ke Nisam dari Banda Aceh memakan waktu hampir delapan jam. Di rumah Muhammad Usman, di Kilometer 19, saya memutuskan untuk istirahat dan menginap malam itu. Keesokan harinya, saya dan Usman bersama-sama menuju dusun Jabal Antara. Kami masing-masing mengendarai sepeda motor RX King, yang kami sewa dari warga setempat.

Jalan ke dusun Jabal Antara sedikit merepotkan kami. Banyak batu besar menghalangi jalan. Kadang–kadang kami terpaksa turun dari sepeda motor, lalu berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor kami sejauh ratusan meter demi menghindari batu dan lubang-lubang. Jalanan curam. Kalau rem kendaraan rusak dan Anda tidak mahir mengemudi, maka Anda bisa meluncur ke jurang dalam itu tanpa ampun.

Sepanjang jalan yang kami lewati tak terlihat rumah penduduk. Hanya ada pondok-pondok kebun yang dikepung alang-alang dan semak-belukar.

“Daerah ini sebenarnya sudah menjadi kawasan penduduk. Kepala Dusunnya sudah ada, Pak Anwar (namanya). Mungkin karena jalannya belum bagus dan listrik belum ada, warga masih enggan tinggal di kawasan ini,” kata Usman kepada saya.

Kawasan ini lebih populer dengan nama Gunung Salak. Di masa konflik ia jadi tempat pembuangan mayat-mayat. Jalan ini dulu sering dilalui tentara Indonesia yang melakukan operasi.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, kami pun sampai di Kilometer 33.

“Di sini,”  kata Angkasah kepada kami, seraya menunjuk gundukan tanah. Di dalamnya dikubur bangkai seekor kerbau.

Angkasah adalah salah seorang warga yang sempat melarikan diri pada saat kejadian.

Pada 31 Mei 2008 itu Angkasah bersama temannya, Sufriadi, tengah menarik kayu dengan bantuan kerbau. Batang kayu itu mereka ambil di lembah. Rencananya untuk mendirikan pondok. Ketika sampai di Kilometer 33, mereka dicegat polisi.

Hari itu Kepolisian Resor Bener Meriah tengah melakukan operasi pengejaran terhadap penebang-penebang liar di kawasan tersebut. Operasi ini memperoleh bantuan dari  Batalyon 114 Satria Musara Bener Meriah, yang mengerahkan satu peleton anggotanya.

“Jangan lari, kalau lari aku tembak kau,” gertak seorang polisi pada Angkasah.

Sufriadi ketakutan. Ia langsung terpaku di tempatnya. Sementara itu Angkasah yang berada beberapa langkah di belakang Sufriadi langsung melarikan diri ke semak-semak. Pada saat lari itulah, Angkasah mendengar suara tembakan beberapa kali.

“Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi pada Sufriadi dan kerbau,” tutur Angkasah kepada kami.

Kejadian itu jadi pokok pembicaraan warga di sekitar desa Alue Dua. Sebagian mulai resah dan mengkhawatirkan keadaan keluarganya yang sedang berkebun di kawasan tersebut. Trauma konflik belum seluruhnya sirna.

Pondok milik Anwar, Husaini serta Zainal Abidin hangus. Empat sepeda motor kepunyaan warga yang sedang berkebun di sana juga tak luput dari pengrusakan dan pembakaran. Seekor kerbau milik seorang warga bernama Sulaiman mati ditembak aparat. Botol-botol plastik air mineral sling berjejeran di jalan, begitu pula bungkus nasi jatah prajurit dan polisi. Tapak sepatu bot tentara masih membekas di hamparan tanah liat, di sekitar lokasi pembakaran.

HARI mulai sore. Hujan turun disertai angin kencang membuat saya kalang-kabut. Tas ransel terpaksa saya bungkus dengan daun pisang untuk melindungi kamera dari air.

Pukul 20.00, saya dan Usman kemudian berkunjung ke rumah Sulaiman diantar Angkasah. Lelaki paruh baya ini membuka kedai di muka rumahnya dan sehari-hari dia bekerja di situ. Selain itu ia memelihara beberapa ekor kerbau yang biasanya digembala oleh Angkasah. Sulaiman juga memiliki sebuah truk diesel yang sering digunakan untuk mengangkut hasil kebun para perani di Gunung Salak dan sekitarnya ke pasar.

“Kerbau itu seharga sepuluh juta, mungkin lebih,” katanya.

Untuk menghilangkan jejak, mereka yang menembak kerbau tadi membuang bangkainya ke Kilometer 35, ke semak-semak. Tapi bau busuk yang menyengat tercium sampai ke jalan yang dilalui manusia.

Dalam operasi mereka, aparat gabungan itu menahan mobil Sulaiman beserta sopirnya, Tubasyah. Beberapa petani yang sedang berkebun juga ikut diangkut ke kantor Kepolisian Resor Bener Meriah. Jumlah warga yang diangkut sebanyak enam orang. Semuanya warga Alue Dua. Mereka adalah Sufriadi, Iswandi, Makni, Edy, Muhammad Amin, dan Tubasyah.

“Truk aku memang sering melintas jalan itu untuk jasa pengangkutan warga yang berkebun di sana. Apapun yang disuruh warga, Tubasyah mengangkutnya. Asal ada masukan. Tapi bukan untuk mengangkut kayu ilegal logging. Tidak ada ilegal logging di sini,” kata Sulaiman.

Saya teringat lagi judul berita di Serambi. Judulnya, benar-benar provokatif dan mengesankan adanya pasukan bersenjata yang sengaja menyerbu kampung seperti di masa konflik dulu.

“Tidak ada pasukan yang menyerbu kawasan dusun Jabal Antara, Desa Alu Dua, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara. Lebih dari itu, tidak ada rumah-rumah warga yang dibakar, kecuali pondok berteduh yang diperkirakan milik pembalak hutan,” kata Komandan Resor Militer 011/Lilawangsa, Kolonel Infanteri Eko Wiratmoko, sebagaimana dikutip Serambi dan tabloid Prohaba.

Di lain pihak, cara aparat dalam menghadapi warga ternyata belum berubah. Bertindak tanpa bukti dan memakai kekerasan. Kalau hanya ingin menangkap penebang liar, tak perlu menembak kerbau dan membakar sepeda motor serta pondok warga. Lagipula mengejar penebang liar itu tugas polisi hutan, bukan tentara.***


0 komentar:

Posting Komentar