Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Jumat, 18 November 2011

Menjaga Damai, Membuka Kebenaran

Kamis, 17 November 2011

Oleh : Feri Kusuma

Isu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR kembali muncul dalam diskusi yang mendorong penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia melalui mekanisme non judicial ini di kantor Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU) pada 20 Agustus 2010.
“Kita tetap harus semangat melakukan sesuatu untuk mendorong pelurusan sejarah kemanusiaan yang tercerai-berai. Agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa selanjutnya,” kata Murtala, ketua K2HAU.
Diskusi komunitas korban konflik ini diawali  pemutaran film dokumenter berdurasi 60 menit tentang proses pengungkapan kebenaran versi komunitas korban yang diselenggarakan pada peringatan 11 tahun tragedi Simpang KKA, Aceh Utara, 3 Mei 2010 lalu. Bagian pertama film tersebut memperlihatkan cuplikan pembantaian masyarakat sipil di simpang KKA oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Mei 1999. Fauziah Ibrahim  langsung beranjak keluar ruangan ketika adegan tersebut muncul. Ia masih trauma mengingat kejadian yang merenggut nyawa anaknya Saddam Husein. Ia masih ingat ketika Saddam Husein meminta gendong sebelum ditembak. Setelah adegan itu selesai, Fauziah masuk kembali ke ruangan, menonton dan mengikuti proses diskusi sampai akhir. Ia berharap pemerintah peduli pada  pemulihan dirinya. Selama ini yang mendukung dan  menguatkan mentalnya hanya teman-teman sesama korban.
“Konseling untuk korban itu sangat penting agar mereka kuat secara mental. Kalau sudah kuat dengan sendirinya mereka akan memiliki semangat kembali,” kata Saifuddin, pengurus K2HAU.
Trauma yang dialami Fauziah baru satu contoh saja.
“Kita tidak dalam konteks menyalahkan si A atau si B. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan untuk korban dan memulihkan kondisi traumatis,”  kata Mawardi yang juga bergabung dengan K2HAU, mengawali diskusi.
Peserta diskusi menyadari bahwa membentuk KKR bukan hal  mudah. Ini pertarungan politik. Mekanisme KKR yang sejatinya jadi alternatif penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia tak kunjung dapat tanggapan positif dari pemerintah dan parlemen. Di tingkat nasional, rancangan undang-undang  KKR sebagai rujukan pembentukan KKR Aceh belum ada tanda-tanda dibahas. Dorongan pemerintah dan parlemen Aceh terhadap pemerintah pusat juga tidak sekuat  desakan mereka dalam hal pemberian kewenangan kepada Dewan Kawasan Sabang yang hendak membuka pelabuhan bebas itu, yang beberapa hari terakhir menyemarakkan berita suratkabar.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam pernyataannya di Serambi Indonesia, 18 Agustus 2010, tetap menunggu pemerintah pusat mensahkan Undang-Undang KKR Nasional. Namun, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim menilai pembentukan KKR tidak harus menunggu UU KKR karena Undang-Undang Pemerintah Aceh dapat jadi landasan hukum utama dan fundamental (primary norm) untuk membentuk KKR Aceh.
Saling lempar tanggung jawab antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Aceh makin meredupkan harapan korban dan masyarakat Aceh yang berkeinginan dan optimistis KKR di Aceh dapat dibentuk lewat konsensus politik di daerah.
Selain soal KKR, ternyata banyak kalangan di Aceh yang bahkan belum mengetahui peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu,  termasuk mahasiswa yang dulu disebut sebagai agen perubahan itu.
“Mahasiswa sekarang lebih banyak yang apatis. Kita harus membangitkan kembali semangat juang mahasiswa seperti yang kita ketahui jiwa peloporannya yang telah meruntuhkan rezim otoriter di Indonesia,” kata Mandasari, mahasiswa Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe.
“Jujur saya mengatakan. Mayoritas mahasiswa tidak mengetahui apa yang pernah terjadi di Aceh sebelum perdamaian. Ironisnya lagi tidak ada kesadaran dari mereka untuk mengetahui perihal tersebut,”  kata Rizal, yang juga mahasiswa di Universitas Malikul Saleh.
Hal ini bisa dimaklumi. Sebab di masa konflik banyak peristiwa pelanggaran HAM  tidak jadi berita suratkabar. Sensor terhadap media terjadi di masa tersebut. Penjelasan resmi hanya datang dari militer atau pejabat yang ditunjuk. Warga juga takut bersaksi. Sebab jiwa mereka akan terancam. Kebenaran bagai tersembunyi dalam tembok.
Samsul Bahri IB, salah satu dari yang hadir, berkata,“ Yang perlu diingat juga. Sekarang sedang berjalan politik adu domba. Sesama elemen masyarakat sedang diadu domba oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan perdamaian. Tugas kita harus menyatukan itu. Jangan sampai lepas dari konflik vertikal terjerumus dalam konflik horizontal.”
“Kita jangan lupa bahwa di Aceh sebenarnya ada tradisi yang dapat mengeratkan kembali tali silahturahmi yang selama ini putus. Untuk menyambung kembali, kita dapat melakukan acara-acara seperti kenduri aneuk yatim, doa bersama baik untuk yang sudah mati ataupun yang masih hidup. Media itu juga dapat kita gunakan untuk menyampaikan tentang pentingnya masyarakat mendorong pemerintah untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan di masa konflik, “ kata Tengku. Baktiar, perwakilan korban Bireuen.
Amiruddin, ketua komisi A Dewan Perwakilan Rakyat KabupatenAceh (DPRK) Utara, yang datang lima belas menit sebelum buka puasa, mengatakan bahwa lembaganya sudah berusaha sesuai dengan kewenangan mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk memasukkan Qanun KKR dalam prolega 2010. Tapi selidik punya selidik, ternyata rekomendasi DPRK  itu mengendap di bagian kesekretariatan.
“Negara ini sistemnya masih rumit,” katanya, menyarankan  untuk menanyakan langsung apa hambatan di tingkat DPRA sehingga Qanun KKR itu tidak dibahas.
Diskusi  ini melahirkan beberapa kesepakatan,  antara lain menyatukan  gerakan korban dengan gerakan mahasiswa, juga berbagai unsur dalam masyarakat seperti ulama, santri, legislator, aktivis, dan pelajar  di Aceh untuk mengawal perdamaian tanpa mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM di masa konflik.***

Kamis, 17 November 2011

Antara Pembalak dan Kerbau


Oleh : Fery Kusuma


JUDUL berita di suratkabar Serambi Indonesia pada tanggal 4 Juni 2008 itu menarik perhatian saya: “Pasukan Bersenjata Serbu Nisam Antara”. Kalimat-kalimat ini tertera di alinea pertama: “Sedikitnya 30-an orang bersenjata yang mengenakan atribut lengkap, pada tanggal 30-31 Mei mendatangi dusun Jabal Antara, desa Alue Dua, kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara. Kedatangan kelompok ini telah menyebabkan terjadinya pembakaran rumah-rumah warga, sepeda motor dan sebagainya”.

Serambi adalah media lokal terbesar di Aceh. Suratkabar ini telah berusia 22 tahun. Tak ada orang Aceh yang tak kenal Serambi.

Setelah membaca berita tersebut, sekitar pukul 11.00 saya pun berangkat ke Nisam Antara. Sebagai aktivis hak asasi manusia, saya harus mencari informasi tentang pelanggaran hak asasi manusia di sana. Bukti-bukti itu berguna untuk melakukan pembelaan terhadap korban.

Perjalanan ke Nisam dari Banda Aceh memakan waktu hampir delapan jam. Di rumah Muhammad Usman, di Kilometer 19, saya memutuskan untuk istirahat dan menginap malam itu. Keesokan harinya, saya dan Usman bersama-sama menuju dusun Jabal Antara. Kami masing-masing mengendarai sepeda motor RX King, yang kami sewa dari warga setempat.

Jalan ke dusun Jabal Antara sedikit merepotkan kami. Banyak batu besar menghalangi jalan. Kadang–kadang kami terpaksa turun dari sepeda motor, lalu berjalan kaki sambil menuntun sepeda motor kami sejauh ratusan meter demi menghindari batu dan lubang-lubang. Jalanan curam. Kalau rem kendaraan rusak dan Anda tidak mahir mengemudi, maka Anda bisa meluncur ke jurang dalam itu tanpa ampun.

Sepanjang jalan yang kami lewati tak terlihat rumah penduduk. Hanya ada pondok-pondok kebun yang dikepung alang-alang dan semak-belukar.

“Daerah ini sebenarnya sudah menjadi kawasan penduduk. Kepala Dusunnya sudah ada, Pak Anwar (namanya). Mungkin karena jalannya belum bagus dan listrik belum ada, warga masih enggan tinggal di kawasan ini,” kata Usman kepada saya.

Kawasan ini lebih populer dengan nama Gunung Salak. Di masa konflik ia jadi tempat pembuangan mayat-mayat. Jalan ini dulu sering dilalui tentara Indonesia yang melakukan operasi.

Setelah menempuh perjalanan sekitar dua jam, kami pun sampai di Kilometer 33.

“Di sini,”  kata Angkasah kepada kami, seraya menunjuk gundukan tanah. Di dalamnya dikubur bangkai seekor kerbau.

Angkasah adalah salah seorang warga yang sempat melarikan diri pada saat kejadian.

Pada 31 Mei 2008 itu Angkasah bersama temannya, Sufriadi, tengah menarik kayu dengan bantuan kerbau. Batang kayu itu mereka ambil di lembah. Rencananya untuk mendirikan pondok. Ketika sampai di Kilometer 33, mereka dicegat polisi.

Hari itu Kepolisian Resor Bener Meriah tengah melakukan operasi pengejaran terhadap penebang-penebang liar di kawasan tersebut. Operasi ini memperoleh bantuan dari  Batalyon 114 Satria Musara Bener Meriah, yang mengerahkan satu peleton anggotanya.

“Jangan lari, kalau lari aku tembak kau,” gertak seorang polisi pada Angkasah.

Sufriadi ketakutan. Ia langsung terpaku di tempatnya. Sementara itu Angkasah yang berada beberapa langkah di belakang Sufriadi langsung melarikan diri ke semak-semak. Pada saat lari itulah, Angkasah mendengar suara tembakan beberapa kali.

“Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi pada Sufriadi dan kerbau,” tutur Angkasah kepada kami.

Kejadian itu jadi pokok pembicaraan warga di sekitar desa Alue Dua. Sebagian mulai resah dan mengkhawatirkan keadaan keluarganya yang sedang berkebun di kawasan tersebut. Trauma konflik belum seluruhnya sirna.

Pondok milik Anwar, Husaini serta Zainal Abidin hangus. Empat sepeda motor kepunyaan warga yang sedang berkebun di sana juga tak luput dari pengrusakan dan pembakaran. Seekor kerbau milik seorang warga bernama Sulaiman mati ditembak aparat. Botol-botol plastik air mineral sling berjejeran di jalan, begitu pula bungkus nasi jatah prajurit dan polisi. Tapak sepatu bot tentara masih membekas di hamparan tanah liat, di sekitar lokasi pembakaran.

HARI mulai sore. Hujan turun disertai angin kencang membuat saya kalang-kabut. Tas ransel terpaksa saya bungkus dengan daun pisang untuk melindungi kamera dari air.

Pukul 20.00, saya dan Usman kemudian berkunjung ke rumah Sulaiman diantar Angkasah. Lelaki paruh baya ini membuka kedai di muka rumahnya dan sehari-hari dia bekerja di situ. Selain itu ia memelihara beberapa ekor kerbau yang biasanya digembala oleh Angkasah. Sulaiman juga memiliki sebuah truk diesel yang sering digunakan untuk mengangkut hasil kebun para perani di Gunung Salak dan sekitarnya ke pasar.

“Kerbau itu seharga sepuluh juta, mungkin lebih,” katanya.

Untuk menghilangkan jejak, mereka yang menembak kerbau tadi membuang bangkainya ke Kilometer 35, ke semak-semak. Tapi bau busuk yang menyengat tercium sampai ke jalan yang dilalui manusia.

Dalam operasi mereka, aparat gabungan itu menahan mobil Sulaiman beserta sopirnya, Tubasyah. Beberapa petani yang sedang berkebun juga ikut diangkut ke kantor Kepolisian Resor Bener Meriah. Jumlah warga yang diangkut sebanyak enam orang. Semuanya warga Alue Dua. Mereka adalah Sufriadi, Iswandi, Makni, Edy, Muhammad Amin, dan Tubasyah.

“Truk aku memang sering melintas jalan itu untuk jasa pengangkutan warga yang berkebun di sana. Apapun yang disuruh warga, Tubasyah mengangkutnya. Asal ada masukan. Tapi bukan untuk mengangkut kayu ilegal logging. Tidak ada ilegal logging di sini,” kata Sulaiman.

Saya teringat lagi judul berita di Serambi. Judulnya, benar-benar provokatif dan mengesankan adanya pasukan bersenjata yang sengaja menyerbu kampung seperti di masa konflik dulu.

“Tidak ada pasukan yang menyerbu kawasan dusun Jabal Antara, Desa Alu Dua, Kecamatan Nisam Antara, Aceh Utara. Lebih dari itu, tidak ada rumah-rumah warga yang dibakar, kecuali pondok berteduh yang diperkirakan milik pembalak hutan,” kata Komandan Resor Militer 011/Lilawangsa, Kolonel Infanteri Eko Wiratmoko, sebagaimana dikutip Serambi dan tabloid Prohaba.

Di lain pihak, cara aparat dalam menghadapi warga ternyata belum berubah. Bertindak tanpa bukti dan memakai kekerasan. Kalau hanya ingin menangkap penebang liar, tak perlu menembak kerbau dan membakar sepeda motor serta pondok warga. Lagipula mengejar penebang liar itu tugas polisi hutan, bukan tentara.***


Bantu Kami Kau Selamat


Hukum - 2008-03-24 | 1891 Kata | 508 Hits
Oleh : Feri Kusuma

IA duduk termanggu dengan raut wajah galau di serambi rumahnya, sambil pandang matanya menyelidik ke lorong-lorong. Remaja berusia 15 tahun ini tidak tahu harus pergi ke mana hari itu.

Muhammad Aziz nama lengkapnya. Ia pelajar kelas satu sekolah menengah atas saat itu, termasuk anak yang tidak betah di rumah. Sepulang sekolah ia gunakan waktunya untuk membantu saudaranya berjualan jeruk manis di pasar Langsa Kota, kotamadya Langsa, Aceh Timur. Ia ingin punya tambahan uang jajan.

Di penghujung bulan April 2006, ayahnya melarang ia bekerja karena khawatir hal itu akan mengganggu sekolahnya. Abdullah Yakop ingin anaknya “menjadi orang”.

Senin, 1 Mei 2006, hari itu ia libur sekolah karena kakak kelasnya sedang mengikuti ujian. Pada hari itu ia berniat pergi bermain-main di seputar kampung. Dari pukul 08.00, ia keluar rumah dan pergi tanpa tujuan.

Di ujung lorong, di waktu bersamaan, Ilham pergi menuju boat (perahu mesin) Bang Pon yang baru pulang melaut. Ia membantu memuat ikan dari perahu ke dalam raga (keranjang) dan setelah selesai ia mengantar ikan-ikan itu kepada ayahnya di pasar Langsa Kota.

Rusli Taib, ayahnya, sudah lama jualan ikan di pasar tersebut.

Sepulang mengantar ikan, Ilham berencana untuk pergi ngangkul (mancing) kepiting. Setiba di perempatan jalan, ia bertemu dengan Azis. Ia menuturkan niatnya kepada Azis, yang tertarik untuk ikut serta. Semula Ilham keberatan Aziz ikut, karena ia mengira Aziz harus masuk sekolah. Setelah sepakat pergi bersama, mereka juga berencana mengajak kawan lain.


SAPRIADI bin Jamaluddin yang biasa disapa Adi baru saja selesai sarapan pagi itu. Pemuda perokok ini sudah berpengalaman ngangkul. Usianya 21 tahun. Badannya kekar dan tinggi.

Pagi itu setelah selesai sarapan ia hendak membeli rokok. Ia meminta uang Rp 1000 pada ibunya, lalu pergi ke kedai Baktiar yang tak berapa jauh dari rumahnya. Ketika ia sedang menikmati asap tembakau itulah Aziz dan Ilham mendekatinya. Adi tak menolak tawaran kedua remaja tersebut untuk ngangkul bersama.

Ilham dan Adi kemudian pergi ke rumah Adi untuk mengambil peralatan, sedangkan Aziz pulang ke rumahnya untuk mengambil bekal nasi dan perlengkapan ngangkul.

Jarak rumah mereka hanya terpaut puluhan meter.

Setengah berlari Aziz pulang ke rumah. Saat ia sedang memasukkan nasi dalam rantang, neneknya yang sudah uzur datang menghampirinya. “Mau ke mana?” selidik sang nenek.

Tanpa menoleh ke wajah neneknya, Azis menyahut, “Mau pergi ngangkul kepiting sama kawan-kawan.”

“Jangan pergi, nanti dimarahin ayahmu, “ tukas neneknya.

Aziz buru-buru pergi. Teguran nenek tak digubrisnya. Ia pun meninggalkan sang nenek sendirian di rumah.

Sekitar pukul 10.00 Ilham, Aziz, dan Adi berjalan kaki menuju Sungai Pauh. Di tempat itu Ilham biasa ngangkul, tepatnya di lokasi tambak udang yang berhimpitan dengan alur sungai Kuala Langsa. Matahari mulai membakar kulit ketiganya.

Sekitar 20 menit, mereka pun tiba di tempat tujuan.

Mereka mulai memasang pancing sambil bercakap-cakap dengan seorang lelaki bernama Jubir, yang hari itu juga ngangkul di tempat yang sama. Selain Jubir, ada tiga anak lain dari desa Sungai Pauh yang ngangkul di sana.

Setelah mereka mendapatkan sejumlah kepiting, air sungai pun mulai surut. Mereka bersiap-siap untuk pulang membawa hasil tangkapannya.

Tiba-tiba Muhammad Nur alias Dek Gam datang ke tempat mereka. Dek Gam yang biasa dipanggil “paman” oleh Azis ini datang bersama dua temannya. Dek Gam meminta tolong kepada Ilham untuk membelikan nasi untuknya.

Setelah berjalan kaki sekitar 20 menit, Ilham kembali membawa enam bungkus nasi di tangannya. Tiga bungkus diambil Dek Gam, sedang sisanya dibagi untuk Aziz, Ilham, Adi dan Jubir.

Setelah itu, Aziz dan teman-temannya menjauh dari Dek Gam dan dua temannya. Mereka makan bersama di pematang tambak, sedang Dek Gam dan lain-lain makan di dekat mulut sungai yang berjarak sekitar tujuh meter dari tempat Aziz dan teman-temannya berada.

Dek Gam kembali menghampiri Aziz dan teman-teman sesudah makan. Kali ini ia menyuruh mereka mengantar kedua temannya itu ke muara sungai Langsa dengan menggunakan boat Bang Pon. Rupanya ia mengambil boat Bang Pon tanpa sepengetahuan sang pemilik.

"Kamu bisa membawa boat?” tanya Dek Gam kepada Ilham kala itu.

Anak-anak ini tidak mengenal kedua teman Dek Gam, tapi karena diberi imbalan uang Rp 50 ribu mereka bersedia mengantarnya ke Kuala Langsa.

Pukul 14.50, setelah menghidupkan mesin boat Ilham melajukan boat ke hulu sungai. ditemani teman-temannya. Kedua teman Dek Gam membawa serta sepeda motor jenis Supra X naik boat itu dan juga meletakkan sepujuk senjata laras panjang yang sudah dibalut dengan jaket hitam di lantai boat.

Dek Gam tidak ikut serta. Ia pulang ke rumahnya.

“Aku menyusul,” ujarnya, saat melepas kepergian kedua temannya itu.

Riak cemas tercermin di wajah kedua pemuda, teman Dek Gam. Mereka seperti sedang menyembunyikan kegelisahannya dengan bersiulan. Sementara Azis dan teman-temannya bersikap masa bodoh.

Baru beberapa menit boat melaju, satuan polisi Airud atau polisi laut yang juga sedang menyisir perairan Kuala Langsa meminta Ilham menghentikan boat dan menepi. Seluruh penumpang boat panik.

“Hei, berhenti kalian!” perintah anggota Airud, sambil memberi isyarat tangan sebagaimana dilihat Jubir kala itu.

“Ayo kita lari,” kata salah seorang kawan Dek Gam yang berkulit hitam.

“Jangan berhenti, nggak apa-apa jalan terus, cepat bawa ke pinggir,” sahut kawannya dengan wajah gelisah.

Perlahan-lahan boat menepi ke bibir sungai.

Alangkah kagetnya Ilham saat menyaksikan kedua orang tadi melompat ke dalam air, menyelam dan melarikan diri. Melihat gelagat mencurigakan, polisi Airud melepaskan tembakan dan memerintah kepada mereka yang berada di boat untuk menyerahkan diri.

Aziz ketakutan dan karena khawatir kena tembak, ia ikut melompat ke dalam air dan berenang ke arah speedboat Airud. Karena merasa tidak bersalah, Azis naik ke speedboat itu untuk menyelamatkan diri.

Niat menyelamatkan diri malah berbuah petaka. Ibarat pepatah “lepas dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”, Azis ditangkap dan dituduh sebagai komplotan bersenjata yang beberapa jam lalu melakukan aksinya. Dugaan awal polisi menguat ketika di dalam boat yang dikemudikan Ilham ditemukan sepucuk senjata laras panjang AK-56 dan sepeda motor hasil rampasan. Tak ayal lagi, Azis langsung diganjar dengan pukulan. Adi dan Ilham menerima perlakuan yang sama.

Jubir dan kedua teman Dek Gam berhasil kabur.

Dengan sangat marah polisi menggiring ketiga pemuda ini ke tepi jalan, tepatnya di Kilometer Lima Kuala Langsa. Mereka dipukuli, diinjak-injak, lalu dimasukkan ke dalam mobil panser.

Ilham yang tak tahan menerima tinju polisi, menangis dan teriak minta ampun sampai polisi berhenti memukulinya. Di tengah situasi yang tegang itu, Aziz malah tertawa. Pasalnya, ia geli melihat Ilham menangis. Karena merasa diremehkan, polisi memukul Aziz bertubi-tubi hingga tubuh remaja ini mati rasa sejenak. Kedua tangannya bahkan diinjak dengan sepatu. Dalam panser itu, Aziz disuruh tiarap tanpa pakaian, begitu pula Adi. Ilham diperintahkan duduk di jok.

Ketiganya dibawa ke Kepolisian Resor Kota (Polresta) Langsa beserta sepeda motor dan senjata laras panjang itu. Sekitar pukul 15.00. Di markas polisi ini pun mereka tak luput dari penganiayaan.

Wartawan berdatangan dan memotret wajah-wajah pucat anak nelayan ini. Media cetak lokal kemudian berisi berita keberhasilan polisi Airud menangkap tiga orang pelaku perampokan bersenjata. Wajah Adi sempat terpampang jelas di suratkabar Serambi Indonesia saat ia digelandang polisi Airud ke kantor Polresta.

Sementara saat itu, waktu beranjak senja di Alu Beurawe. Tak berapa lama cahaya di ufuk timur yang memerah mulai menyerah pada kegelapan malam. Warga Alu Beurawe mulai digeluti keresahan. Isu penangkapan anak-anak yang ngangkul kepiting santer terdengar.

Abdullah Yakop ada di rumahnya dan ia belum tahu tentang penangkapan anaknya. Namun, tak berapa lama sekitar lima polisi datang memberitahunya soal Aziz. Ia kaget bukan kepalang. Ia benar-benar syok ketika mendengar Azis dituduh terlibat perampokan bersenjata dan sekarang ditahan di Polresta Langsa.

Tanpa menunda-nunda waktu, ia bergegas mendatangi kantor Polresta. Ia ingin bertemu anaknya, tetapi ditolak petugas. Alasan mereka, para pelaku sedang dalam pemeriksaan.

Ruang reserse sesak oleh polisi. Aziz dan Ilham diinterogasi. Adi dibawa ke ruang lain. Ketiganya diminta mengakui aksi perampokan yang tidak mereka lakukan. Mereka juga diminta memberitahu keberadaan kedua pemuda yang bersama mereka di boat tadi, yang dikenal sebagai “teman Dek Gam”.

“Aku tidak tahu dan juga tidak mengenal ke dua teman paman aku itu,” sahut Aziz, dengan gugup.

Sebagai ganjarannya, mulutnya dihajar sampai tak bisa mengunyah makanan selama dua hari.

Ilham dan Adi dipukul dengan popor senjata, juga ditendang.

Mereka tetap ditahan, meski sudah menyatakan tak tahu-menahu tentang perampokan tersebut.

Jubir masih berada di sekitar tepi sungai. Ketika hari mulai gelap, bunyi riuh tak terdengar lagi, ia pun memberanikan dirinya keluar dari balik semak-belukar. Geraknya amat pelan. Tubuhnya gemetar.

Seraya berjalan menuju rumah, ia terus berpikir tentang polisi Airud yang mengejar mereka. Ia tiba di rumahnya menjelang shalat Isya, dalam keadaan menggigil. Saat itulah ia baru mengetahui bahwa ada perampok dalam boat tadi dan itu pun dari pembicaraan warga sekitar yang serba sekilas.


Gerimis membasahi kota Langsa. Udara dingin mulai menyentuh pori-pori. Aziz, Ilham, dan Adi masih berada di ruang reserse.

Mereka terus dipaksa mengaku terlibat perampokan. Pada pukul 04.00, ketiganya dijebloskan ke sel.

Pagi-pagi mereka diperintah untuk mencium lantai, push up, merayap, jongkok dengan tangan di belakang kepala layaknya tahanan dewasa. Tak ada kepastian kapan mereka akan dibebaskan dari tahanan.

Minggu tengah malam, 7 Mei 2006, suasana hati Aziz mulai tidak karuan. Ia dibawa keluar dari sel dan diangkut dengan sebuah mobil Kijang dengan kawalan tiga polisi. Aziz menyangka ia akan dihabisi malam itu juga. Ia hanya bercelana. Bajunya telah dijadikan penutup matanya oleh polisi-polisi tersebut.

Tubuhnya ditempelin pistol oleh salah seorang polisi dan ia diancam, “Kau harus ngaku, kalau gak, kubuang kau malam ini.”

“Kalau kau bantu kami, kau selamat,” kata polisi itu.

Dengan bibir gemetar, Aziz terbata-bata mengatakan bahwa ia tidak mengenal kedua perampok tersebut.

Polisi tetap meragukan pernyataan Aziz. Menjelang pukul 04.00, Aziz digiring kembali ke sel.

Ia tak bisa memejamkan mata. Berbagai pikiran buruk melintas. Ia benar-benar ketakutan.

Belum lama tubuhnya rebah di atas dipan, ia kembali dipanggil ke ruang pemeriksaan.
Salah seorang intel menjemputnya. Rambutnya dijambak.

Di ruangan tersebut sudah menunggu dua polisi lain. Azis kembali diinterogasi.

Polisi kurang puas mendengar jawaban Azis yang mereka anggap membingungkan. Mereka geram, lalu menampar Aziz. Belum puas menyiksa remaja ini, salah seorang polisi menutup mulut Aziz dengan isolasi. Ia diminta membuka pakaiannya dan setelah itu polisi-polisi tersebut menghajar tubuhnya sampai tumbang ke lantai.

Kepala Azis ditusuk-tusuk dengan pulpen. Punggungnya dicambuk berkali-kali.

Ia tetap dipaksa membuat pengakuan.

“Kau cerita yang sebenarnya, kalau bohong muka kamu saya buat macam triplek,” kata salah seorang polisi.


SEBELAS hari sudah Aziz berada di rumah tahanan. Keluarganya tidak diizinkan menjenguknya.

Pada 12 Mei 2006, Abdullah meminta penangguhan penahanan terhadap anaknya. Ia ingin anaknya kembali belajar di sekolah. Lagipula polisi menahan Aziz tanpa surat keterangan, sehingga Abdullah tak tahu tindak pidana apa yang dituduhkan kepada anaknya.

Pada hari Senin, 15 Mei 2006, Abdullah dipanggil ke kantor Polresta Langsa. Baru pada hari itu pihak Polresta memberikan Surat Perintah Penangkapan dan sekaligus Surat Perintah Penahanan atas nama M.Azis, Ilham dan Supriadi, kepadanya.

Selasa, 16 Mei 2006, Abdullah menerima surat panggilan Polresta Langsa yang kedua kali. Ia diminta menghadap Kasat Reskrim Iptu Burhanuddin.

Polisi bersedia menangguhkan penahanan anaknya dengan syarat ia harus memberikan uang jaminan sebesar Rp 10 juta. Tapi Abdullah menolak.

Selidik punya selidik, polisi menemukan informasi bahwa pelaku perampokan yang sesungguhnya memang bukan Aziz, Adi, dan Ilham. Mereka dibebaskan. Ketiganya
dijemput keluarganya beserta perangkat desa.

Menurut Kapolres Langsa Ajun Komisaris Besar Polisi Hendro Sugiatno, sebagaimana dikutip Serambi Indonesia, anak-anak tersebut memang bukan tersangka utama dan mereka dianggap membantu perampok melarikan diri dengan perahu.

Perampokan itu dilakukan M.Nur alias Dek Gam alias Kruntung dan kedua temannya, Amad alias Maup dan Banta. Ketiganya mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka yang sudah desersi dari keanggotaannya sejak status darurat militer diberlakukan di Aceh.

Perampokan bersenjata itu terjadi di kantor Dinas Kesehatan di Jalan Prof. A Majid Ibrahim, di desa Sungai Pauh, Langsa. Tepatnya di tepi jalan raya Banda Aceh-Medan. Kejadiannya siang bolong.

Para perampok menggondol uang tunai Rp 25 juta dan mengambil barang-barang berharga milik para pegawai yang pada hari itu sedang menunggu pembayaran uang insentif dan kebetulan bertepatan dengan hari gajian.

Beberapa pegawai cedera, tapi tak ada korban jiwa.

Perampok juga merampas sepeda motor jenis Supra X BL 2331 XD milik Zainudin Hasyim yang kala itu sedang melintas di tempat kejadian.

Setelah melakukan aksinya, mereka melarikan diri ke arah Kuala Langsa, tempat Azis sedang ngangkul kepiting bersama Ilham dan Adi.

Jumilah, ibu Ilham, menyesali tindakan polisi yang telah menangkap anaknya.

Abdullah sangat berduka atas musibah yang menimpa putranya, Aziz. Setiap hari ia menjaga anaknya, mengingatkannya untuk tidak berjualan atau ngangkul kepiting agar tak mengganggu sekolahnya, tapi ternyata dapat musibah juga.

Aziz masih ingat pesan neneknya yang melarangnya pergi. Ia menyesal tak mendengarkan saran nenek. Ia masih mengenang peristiwa yang hampir merenggutnya nyawanya itu dengan rasa marah dan dada bergemuruh.***


Jembatan Kuala Tripa



Ekonomi - 2008-07-31 | 1138 Kata | 1045 Hits
Oleh : Feri Kusuma

NAMA Kuala Tripa bagi sebagian orang Aceh sudah tak asing lagi. Di kota Banda Aceh, di samping Taman Sari, di Jalan Masjid Raya No. 24, hotel itu pernah berdiri. Ini hotel berbintang tiga. Namanya diambil dari nama sebuah kampung.

Kampung Kuala Tripa terletak di kecamatan Darul Makmur, kabupaten Nagan Raya. Ia di lintas Barat-Selatan yang terkenal dengan panaromanya yang indah. Pasir putih. Bukit-bukit menjulang tinggi. Air sungai bening yang mengalir ke muara.

Selain Kuala Tripa, di kecamatan Darul Makmur 15 desa lain, yaitu Kuala Tadu, Cot Mu, Drien Tujoh, Babak Lueng, Kuta Makmu, Lueng Kebue Jagat, Pante Rawa, Desa Gabu, Pasie Kebeu Dong, Lubuk Ye, Petuah Puteh, Mon Dua, Unjung Krueng, Panton Pange dan Lami. Keseluruhan penduduk kurang lebih 4.000 kepala keluarga. Data ini berdasarkan keterangan dari warga di sana, bukan statistik resmi.

Kebun kelapa sawit milik perusahaan Soccindo membentang luas mengelilingi rumah penduduk setempat dan warga transmigrasi di Kuala Tripa. Hasil kebun ini melimpah ruah, ratusan ton. Mata pencarian warga kebanyakan petani kebun.

Gempa tektonik yang disusul gelombang tsunami pada hari minggu tanggal 26 Desember 2004 silam telah menghapus nama Hotel Kuala Tripa dari daftar nama-nama hotel berbintang di Banda Aceh sekarang. Hotel ini roboh dan belum dibangun lagi.

Bencana Alam terbesar di abad ke-21 itu juga menghantar warga Kuala Tripa ke dalam kondisi yang memprihatinkan.

"Kami seperti berada di sebuah pulau yang jauh dari transportasi dan terisolir. Setiap hari kami di sini harus menyetor lima ribu rupiah pada pos penjagaan. Layaknya seperti berkendaraan menggunakan jalan tol," kata Darmawan, pegawai honorer Dinas Kesehatan.

Jarak ke Kuala Tripa dari simpang Tiga Langkak, kabupaten Nagan Raya, kurang lebih 24 kilometer. Jalan menuju desa ini dibangun oleh pemerintah pada tahun 1970-an.

"Tempo dulu jalan ini sering digunakan oleh angkutan umum seperti L-300, Bus PMTOH, bahkan mobil pribadi yang lalu lalang Banda Aceh-Medan," kata Muhammad Ali Cut, warga desa Kuala Tripa.

Seiring perjalanan waktu dan bergantinya pemimpin daerah atau bupati setempat, jalur transportasi umum Medan-Banda Aceh pun pindah alamat. Sekarang ke arah jalan simpang Empat Jeuram. Sementara jalan lama ini tidak dipakai lagi alias terabaikan. Sampai hari ini belum ada tanda-tanda ia akan dibangun lagi.

Sekarang jalan selebar enam meter ini dipenuhi puluhan lubang raksasa. Seperti kubangan kerbau. Pasir bercampur kerikil dibawa air pasang bertumpuk membentuk bukit-bukit kecil di badan jalan. Air laut bercampur aduk dengan air rawa menggenangi lubang sedalam lutut orang dewasa ini. Airnya keruh kekuningan, berminyak. Kalau sering-sering kena kulit, Anda bisa terjangkit penyakit gatal-gatal.

Sepanjang tiga kilometer dari kampung Cot Mu sampai kampong Kuala Tadu, kurang lebih seratus lubang besar dan kecil berserakan di atas badan jalan.

"Kondisi jalan seperti ini kami alami sejak tsunami.,” kata Ali.

"Kalau begini terus mendingan tidak usah saja ada pemerintah," cetus Tengku Amad, yang juga warga Kuala Tripa.

Di musim hujan ketinggian air bisa mencapai satu meter lebih menutupi jalan. Hal serupa juga terjadi waktu air laut pasang. Warga terpaksa menunggu berjam-jam sampai airnya surut baru dapat melanjutkan perjalanan. Letak jalan ini hanya terpaut 20 meter dari mulut pantai atau laut.

Jika air laut ini mengenai mesin kendaraan, baik roda dua ataupun mobil bisa langsung jim alias mati.

"Karena campuran air laut dengan air rawa, besi saja bisa langsung berkarat," kata Tengku Amad, lagi.

Nama asli Tengku Amad adalah Mumamad Afdal. Ia pernah punya pengalaman buruk dengan jalan ini.

Suatu hari ia ada keperluan penting dengan atasannya di Simpang Langkak. Tiba-tiba di Cot Mu air laut pasang. Karena tergesa-gesa, sepeda motornya tercebur ke lubang. Alhasil sepeda motornya jim di tempat.

“Aku terpaksa mengeluar kocek dua ratus ribu memperbaiki kereta," katanya.

"Kejadian-kejadian serupa sering dialami oleh warga yang melintasi jalan ini," kata Ali Cut.

Kerusakan jalan berdampak ke berbagai hal, termasuk proses belajar-mengajar.

"Jalan adalah kelancaran bagi kami untuk mengajarkan anak didik kami di kampung ini. Tapi kalau seperti ini jalannya, kami selalu terlambat tiba di rumah sekolah. Padahal berangkat dari rumah jam 07.00. Tapi karena kondisi jalan selalu banjir akibat pasang, kami terlambat masuk kelas. Kalau bisa, pemerintah cepat membangun jalan ini. Sayang warga di sini, apalagi anak-anak sekolah. Proses belajar mengajar bisa terhambat,” kata Edi Fitri, guru Sekolah Dasar Cot Mu.

"Kalau ujian final atau mid tes terpaksa nyusul, kadang-kadang karena terlambat datang. Final jam 08.30, sementara tiba di kampus jam 11.00, akibat kondisi jalan seperti ini. Apalagi kalau pasang, terpaksa pulang tidak bisa pergi kuliah," keluh Zulhelmi. Ia mahasiswa semester dua Universitas Iskandar Muda, Meulaboh.

Namun, tak semua orang memperoleh pemakluman seperti yang diterima Zulhelmi.

Herman, pelajar kelas tiga Sekolah Menengah Atas Perdamaian, Nagan Raya, justru dianggap berbohong oleh gurunya.

"Mereka bilang, ‘kok tiap hari kampung kamu banjir’. Kadang-kadang diberi sanksi memungut sampah di sekolah. Padahal kenyataannya seperti inilah," katanya.

Akhirnya warga kampung Cot Mu membuat jalan alternatif, dengan alat dan modal seadanya. Tanpa donatur dan bantuan pemerintah.

Warga membuat titi-titi (jembatan) kecil untuk menyeberangi lubang-lubang. Jembatan ini dibikin dari kepingan papan tua., balok seng ukuran 4 x 4 sentimeter, dan kayu-kayu besar yang dipancang. Tingginya satu meter dari badan jalan. Masa operasinya sudah dua tahun.

Jembatan ini hanya bisa dilalui sebuah sepeda motor dengan seorang pengemudi. Tidak bisa berboncengan. Kalau mengedarai sepeda motor berdua, terpaksa yang satu harus turun dan berjalan kaki.

"Jembatan ini kami buat karena sayang pada anak-anak sekolah, guru, mahasiswa tiap hari lalu lalang di jalan ini. (tapi) gara-gara genangan air itu mereka terlambat," kata Ismail, sambil mengambil uang setoran dari pengguna jalan. Ia juga arsitek jembatan ini.

"Ada dua puluh tiga jembatan penyeberang yang sudah dibangun. Itu diprioritaskan untuk di tempat yang ukuran lubang terlalu besar dan dalam. Yang sulit dilintasi oleh sepeda motor,” katanya.

Uang pembangunan jembatan berasal dari setoran warga yang melewati jalan ini, pulang pergi. Sekali lewat harus membayar Rp5.000. Pulang-pergi artinya, Rp 10.000.

"Kemungkinan lubang akan bertambah apalagi kalau sering air pasang. Ya pokoknya selama jalan ini masih belum dibangun secara permanent," ujar Ismail.

"Setiap harinya ada sekitar seratus kendaraan roda dua melintasi di jalan ini,” katanya.

“Uang tol” bagi pengguna jembatan memang tak murah. Tapi lebih baik ketimbang kendaraan mereka jadi rusak.

"Kalau masuk ke dalam air bisa lebih besar lagi pengeluarannya," kata Darmawan.

"Daripada keluarin uang 25.000 untuk ganti oli kalau masuk dalam air, lebih baik bayar lima ribu," kata Tengku Amat.

"Sayangnya kalau lagi tidak memiliki uang, kalau mau keluar dari desa ini terpaksa hutang dulu. Tidak enak kalau cuma lewat gratis, orang juga pakai tenaga dan waktunya untuk membuat jembatan. Kadang-kadang penjaga pos paham juga. Uang itu juga bukan untuk kepentingan pribadi penjaga pos tapi untuk membeli bahan-bahan," kata Ali.

Namun, bagaimana pun jembatan itu tetap sarana darurat. Lagipula biaya yang dikeluarkan warga untuk melewatinya tetap saja besar. Kalau jalan tol pasang tarif, itu masuk akal. Ini cuma jembatan kecil dan keamanan si pengguna pun tidak terjamin. Kalau sampai jatuh ke lubang, ya sudah risiko.

"Ini sangat menyulitkan kami. Kondisi seperti ini seharusnya sudah mulai dipikirkan oleh pemerintah setempat. Harapan kami dalam tahun 2008 ini pemerintah sudah mulai menganggarkan dana untuk pembangunan jalan ini," kata Ali.

"Kalau seperti ini terus, capek juga,” kata Zulhelmi.***


*)
Feri Kusuma adalah kontributor Aceh Feature. Dia adalah anggota Badan Pekerja Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh.

Menjaga Damai, Membuka Kebenaran


Hak Asasi Manusia - 2010-08-31 | 792 Kata | 412 Hits
Oleh : Feri Kusuma

Isu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR kembali muncul dalam diskusi yang mendorong penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia melalui mekanisme non judicial ini di kantor Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU) pada 20 Agustus 2010.

“Kita tetap harus semangat melakukan sesuatu untuk mendorong pelurusan sejarah kemanusiaan yang tercerai-berai. Agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa selanjutnya,” kata Murtala, ketua K2HAU.

Diskusi komunitas korban konflik ini diawali  pemutaran film dokumenter berdurasi 60 menit tentang proses pengungkapan kebenaran versi komunitas korban yang diselenggarakan pada peringatan 11 tahun tragedi Simpang KKA, Aceh Utara, 3 Mei 2010 lalu. Bagian pertama film tersebut memperlihatkan cuplikan pembantaian masyarakat sipil di simpang KKA oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Mei 1999. Fauziah Ibrahim  langsung beranjak keluar ruangan ketika adegan tersebut muncul. Ia masih trauma mengingat kejadian yang merenggut nyawa anaknya Saddam Husein. Ia masih ingat ketika Saddam Husein meminta gendong sebelum ditembak. Setelah adegan itu selesai, Fauziah masuk kembali ke ruangan, menonton dan mengikuti proses diskusi sampai akhir. Ia berharap pemerintah peduli pada  pemulihan dirinya. Selama ini yang mendukung dan  menguatkan mentalnya hanya teman-teman sesama korban.

“Konseling untuk korban itu sangat penting agar mereka kuat secara mental. Kalau sudah kuat dengan sendirinya mereka akan memiliki semangat kembali,” kata Saifuddin, pengurus K2HAU.

Trauma yang dialami Fauziah baru satu contoh saja.

“Kita tidak dalam konteks menyalahkan si A atau si B. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan untuk korban dan memulihkan kondisi traumatis,”  kata Mawardi yang juga bergabung dengan K2HAU, mengawali diskusi.

Peserta diskusi menyadari bahwa membentuk KKR bukan hal  mudah. Ini pertarungan politik. Mekanisme KKR yang sejatinya jadi alternatif penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia tak kunjung dapat tanggapan positif dari pemerintah dan parlemen. Di tingkat nasional, rancangan undang-undang  KKR sebagai rujukan pembentukan KKR Aceh belum ada tanda-tanda dibahas. Dorongan pemerintah dan parlemen Aceh terhadap pemerintah pusat juga tidak sekuat  desakan mereka dalam hal pemberian kewenangan kepada Dewan Kawasan Sabang yang hendak membuka pelabuhan bebas itu, yang beberapa hari terakhir menyemarakkan berita suratkabar.

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam pernyataannya di Serambi Indonesia, 18 Agustus 2010, tetap menunggu pemerintah pusat mensahkan Undang-Undang KKR Nasional. Namun, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim menilai pembentukan KKR tidak harus menunggu UU KKR karena Undang-Undang Pemerintah Aceh dapat jadi landasan hukum utama dan fundamental (primary norm) untuk membentuk KKR Aceh.

Saling lempar tanggung jawab antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Aceh makin meredupkan harapan korban dan masyarakat Aceh yang berkeinginan dan optimistis KKR di Aceh dapat dibentuk lewat konsensus politik di daerah.

Selain soal KKR, ternyata banyak kalangan di Aceh yang bahkan belum mengetahui peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu,  termasuk mahasiswa yang dulu disebut sebagai agen perubahan itu.

“Mahasiswa sekarang lebih banyak yang apatis. Kita harus membangitkan kembali semangat juang mahasiswa seperti yang kita ketahui jiwa peloporannya yang telah meruntuhkan rezim otoriter di Indonesia,” kata Mandasari, mahasiswa Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe.

“Jujur saya mengatakan. Mayoritas mahasiswa tidak mengetahui apa yang pernah terjadi di Aceh sebelum perdamaian. Ironisnya lagi tidak ada kesadaran dari mereka untuk mengetahui perihal tersebut,”  kata Rizal, yang juga mahasiswa di Universitas Malikul Saleh.

Hal ini bisa dimaklumi. Sebab di masa konflik banyak peristiwa pelanggaran HAM  tidak jadi berita suratkabar. Sensor terhadap media terjadi di masa tersebut. Penjelasan resmi hanya datang dari militer atau pejabat yang ditunjuk. Warga juga takut bersaksi. Sebab jiwa mereka akan terancam. Kebenaran bagai tersembunyi dalam tembok.

Samsul Bahri IB, salah satu dari yang hadir, berkata,“ Yang perlu diingat juga. Sekarang sedang berjalan politik adu domba. Sesama elemen masyarakat sedang diadu domba oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan perdamaian. Tugas kita harus menyatukan itu. Jangan sampai lepas dari konflik vertikal terjerumus dalam konflik horizontal.”

“Kita jangan lupa bahwa di Aceh sebenarnya ada tradisi yang dapat mengeratkan kembali tali silahturahmi yang selama ini putus. Untuk menyambung kembali, kita dapat melakukan acara-acara seperti kenduri aneuk yatim, doa bersama baik untuk yang sudah mati ataupun yang masih hidup. Media itu juga dapat kita gunakan untuk menyampaikan tentang pentingnya masyarakat mendorong pemerintah untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan di masa konflik, “ kata Tengku. Baktiar, perwakilan korban Bireuen.

Amiruddin, ketua komisi A Dewan Perwakilan Rakyat KabupatenAceh (DPRK) Utara, yang datang lima belas menit sebelum buka puasa, mengatakan bahwa lembaganya sudah berusaha sesuai dengan kewenangan mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk memasukkan Qanun KKR dalam prolega 2010. Tapi selidik punya selidik, ternyata rekomendasi DPRK  itu mengendap di bagian kesekretariatan.

“Negara ini sistemnya masih rumit,” katanya, menyarankan  untuk menanyakan langsung apa hambatan di tingkat DPRA sehingga Qanun KKR itu tidak dibahas.

Diskusi  ini melahirkan beberapa kesepakatan,  antara lain menyatukan  gerakan korban dengan gerakan mahasiswa, juga berbagai unsur dalam masyarakat seperti ulama, santri, legislator, aktivis, dan pelajar  di Aceh untuk mengawal perdamaian tanpa mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM di masa konflik.***


*)Fery Kusuma adalah kontributor Aceh Feature. Ia aktivis hak asasi manusia dan wakil koordinator bidang investigasi dan advokasi  Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh.