Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Rabu, 09 November 2011

Kesaksian Nurhayati



Hak Asasi Manusia - 2011-01-14 | 861 Kata
Oleh : Feri Kusuma

NURHAYATI menceritakan pengalaman masa lalunya dengan berurai air mata.  Sejumlah perempuan dan ibu yang duduk di belakangnya ikut terhanyut dalam kesedihan Nurhayati. Mereka menangis.

Muhammad Nazir, anak sulungnya,  yang semula bersama anak-anak lain dan berdiri agak jauh dari Nurhayati berlari mendekatinya. Nazir kemudian menangis di sisi sang ibu. Aisyah yang duduk berhadap-hadapan dengan Nurhayati memberi sebotol air mineral pada Nazir, tapi anak laki-laki itu menolaknya. Aisyah tak putus asa dan kembali menyodorkan botol itu pada Nazir, selain memberi sebotol minuman serupa pada Nurhayati. Kali ini Nazir tak menolak.

“Saya belum pernah menangis seperti ini, karena Mama tidak pernah cerita. Mama hanya memberitahu sedikit tentang masa lalu,” kata Nazir, sambil mengusap air matanya. Nurhayati mengusap-usap pundak putranya.

Nazir masih belajar di kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Sigli. Dia menamatkan sekolah dasarnya di Pusong, Lhokseumawe. Nazir bercita-cita jadi ustadz, tapi dia tidak bisa masuk ke pesantrean lantaran terbentur biaya.

“Dari mana biayanya. Saya tidak punya pekerjaan. Suami saya juga tidak bisa lagi kerja berat,” kata ibunya.

Azan shalat dzuhur berkumandang. Acara pengungkapan kebenaran masa lalu berhenti sejenak. Para ibu dan bapak, laki-laki dan perempuan yang hadir melaksanakan shalat berjamaah di Masjid  Al Azhar.

Selesai shalat dan makan siang bersama, acara yang digagas Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (K2PHAM) Aceh Utara ini dilanjutkan kembali dengan mendengar kesaksian Nurhayati.


PADA 3 Januari 1999, usia Nazir sebelas bulan. Di pagi hari itu warga Pusong panik gara-gara sebuah pengumuman dari mikrofon masjid. Seluruh warga diminta suara itu untuk berkumpul di pendopo atau kantor bupati.

“Siapa yang tidak mengindahkan pengumuman ini, segala sesuatu yang terjadi tanggung sendiri,” begitulah isi pengumuman tersebut.

Warga yang baru mengalami trauma akibat penerapan Daerah Operasi Militer atau DOM berhamburan menuju tempat yang disebutkan si pemberi pengumuman.

Nurhayati menggandeng tangan ibunya Fatimah, sedang Nazir dalam gendongan neneknya. Mereka menuju kantor bupati.

Tiba-tiba senjata tentara Indonesia menyalak. Peluru menembus kaki kiri Nazir yang masih bayi dan peluru itu merobek perut neneknya. Usus Fatimah terburai. Darah membasahi pakaiannya. Nurhayati terkena tembakan di tangan kiri, kaki kiri dan pantat.

Ketiganya dibawa ke Rumah Sakit Umum Cut Meutia. Namun Fatimah baru dioperasi di hari ketiga setelah peristiwa itu. Dia meninggal dunia keesokan harinya. Kaki Nazir yang terkena peluru pun baru dibedah pada hari kelima sesudah penembakan.

“Suami saya Abdullah Sali Abidin juga mengalami penyiksaan ketika hendak menjenguk kami di rumah sakit. Ia mulanya di siksa di Simpang Jam, kemudian dibawa ke Gedung KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Lhokseumawe,” kenang Nurhayati.

KNPI adalah organisasi massa pemuda Golkar, partai pemerintah Soeharto.

Di gedung itu Abdullah dan sejumlah warga disiksa dan ditahan tentara.

“Akibat penyiksaan, suami saya tidak bisa lagi bekerja berat karena sering mengalami sakit,” tutur Nurhayati.

Tidak hanya suaminya, abang Nurhayati juga disiksa dalam gedung tersebut.

Nurhayati kemudian menunjukkan bekas luka tembaknya.

“Saya sekarang meskipun secara fisik baik, tapi dalam hati masih sangat terluka. Saya sering mengalami serangan jantung,” katanya.

Hari itu, 9 Januari 2011, merupakan puncak peringatan 12 tahun tragedi Pusong, tragedi Kandang,  dan penyiksaan di Gedung KNPI. Ketiga peristiwa ini saling berkait.

Pada 3 Januari 1999, tujuh warga sipil meninggal dan 23 luka-luka di Pusong akibat tindakan militer. Pada  9 Januari 1999 satu orang meninggal dunia, 40 orang ditangkap dan satu rumah warga dibakar di Kandang.

Warga yang ditangkap di Pusong dan Kandang dibawa ke Gedung KNPI. Di gedung ini lima orang meninggal dunia dan 44 orang luka-luka akibat penyiksaan. Para pelakunya adalah tentara Indonesia di bawah komando Mayor Bayu Nadjib. Mereka sempat divonis bersalah oleh pengadilan militer, tapi tidak ada yang tahu tempat mereka ditahan.

“Sejarah jangan dilupakan. Perlu diberitahu kepada generasi selanjutnya. Agar mereka dapat belajar dari masa lalu. Saya tidak ingin lagi mengalami seperti itu di masa yang akan datang. Cukup saya saja,” tutur Nurhayati.

Warga Pusong menggelar doa bersama untuk mengenang tragedi tersebut, sedang komunitas korban menyelenggarakan pengungkapan kebenaran versi korban. Suadi Yahya, wakil walikota Lhokseumawe, dan Saifuddin Yunus, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Lhokseumawe ikut hadir dalam peringatan ini.

Proses pengungkapan kebenaran versi korban berlangsung empat jam di Masjid Al-Azhar. Para komisioner terdiri dari seorang perwakilan korban, seorang tokoh masyarakat dan tiga tokoh perempuan yang dipilih komunitas korban. Yang memberi kesaksian adalah empat perempuan dan satu laki-laki.

“Kami melakukan ini agar pemerintah dapat mencontoh pada apa yang kami lakukan. Mungkin mereka tidak tahu cara membuat KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Maka kami buat sendiri. Kami berharap pemerintah dapat membuat lebih baik dari kami, dapat menghadirkan pelaku, dan dapat memberikan pemulihan bagi korban,” kata Murtala dari K2PHAM.

Saifuddin Yunus memberi sambutan dan berkata, ”Pemerintah harus tegas terhadap penegakan hak asasi manusia dan harus ada penyelesaian masa lalu. Kalau tidak, saya selaku unsur pemerintahan malu dan berdosa kepada warga.”

Namun, Nurhayati masih belum puas dengan acara kesaksian. Dia juga membutuhkan ganti rugi pemerintah atas perilaku aparat militer terhadap dirinya dan keluarganya.

Nazir mulai tersenyum ketika melihat ibunya berhenti menangis. Dia mulai bermain lagi dengan teman-temanya. Tapi kadang-kadang kegembiraan itu terhenti saat bekas luka tembak di kakinya tergesek sesuatu.

“Ini (sambil menunjuk pada bekas lukanya) kalau di tekan kuat masih sakit. Kalau tergesek mata kaki kanan juga sakit. Kalau sudah sakit di sini, badan saya langsung panas,” kata Nazir, yang diamini oleh ibunya. Dia berharap kakinya dapat diobati hingga sembuh.***



Jubah Putih di Beutong Ateuh


Hak Asasi Manusia - 2007-12-17 | 2136 Kata | 1025 Hits
Oleh : Feri Kusuma

BEUTONG Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak.

Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di d
aerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan.

Di daerah ini pula Cut Nyak Dien dan Tengku Cik Ditiro pernah bertahan dari kejaran tentara Belanda, walau akhirnya mereka tertangkap juga.

Lebatnya hutan dan suburnya tanah membuat warga setempat enggan meninggalkan lembah Beutong Ateuh. Sebelum dibangun jalan untuk kendaraan roda empat tahun 1996, warga yang ingin ke dalam dan keluar kecamatan ini harus berjalan kaki dua sampai empat hari lamanya dengan menelusuri hutan dan naik-turun lembah.

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Setelah kabupaten Aceh Barat mengalami pemekaran sekitar tahun 2002 dan terbelah jadi tiga kabupaten baru, yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya, maka Beutong Ateuh masuk dalam kabupaten Nagan Raya.

Sejak pemekaran itu pula jalan ke Beutong Ateuh mulai diaspal. Perjalanan sekarang dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat dengan jarak 35 kilometer atau tiga jam perjalanan dari Ule Jalan, Beutong Bawah. Jalan aspal membuat banyak warga Beutong Ateuh lalu-lalang ke kota Nagan Raya dan Meulaboh, ibukota Aceh Barat, terutama mereka yang membawa hasil pertaniannya. Jalan ini juga dimamfaatkan warga dari Takengon, Aceh Tengah dan Gayo untuk membawa hasil pertanian mereka ke kota Nagan Raya dan Meulaboh.

Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, Anda akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. TNI adalah singkatan dari Tentara Nasional Indonesia.

Sekitar 10 kilometer dari kompi tersebut terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman.

Harapan Anda pasti kandas bila menyangka bakal menemukan rumah penduduk di tempat ini. Tak ada manusia yang menghuni Simpang Camat! Sejauh mata memandang hanya tampak jajaran pohon-pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga.

Sayup-sayup dari balik semak-belukar terdengar kicau burung bersahutan ditingkahi suara binatang lain. Hawa dingin mulai menusuk ke tulang sumsum, apalagi ketika sampai di Simpang Singgah Mata.

Tempat ini terletak di puncak bukit yang berjarak sejam perjalanan dari Simpang Camat. Di sana ada jambo (pondok) yang sering digunakan sebagai tempat istrirahat oleh para pengguna jalan yang kelelahan. Sinyal telepon seluler juga penuh di sini. Tempat ini pun dimanfaatkan para pengguna telepon seluler untuk berkomunikasi. Sekitar 15 kilometer lagi Anda akan tiba di kecamatan Beutong Ateuh.


DARI atas bukit ini kain putih usang terlihat berkibar di areal pesantren di kejauhan. Di sekeliling areal itu terlihat kubah mushala, atap rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan dengan sungai Beutong.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh ini pada tahun 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah.
Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati.

Pesantren Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, silat atau seni bela diri, dan berbagai ilmu spiritual lainnya. Proses belajar dan mengajar dipimpin oleh sang tengku dengan dibantu seorang kepercayaannya.

Selain belajar bermacam ilmu, para murid juga diajarkan berkebun. Mereka bertanam nilam, cabai, dan bermacam sayuran. Hasil kebun tadi berguna untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menjadi ajang kegiatan santri untuk bekerja sama serta saling bantu.

Kegiatan sehari-hari para santri dimulai dari sholat shubuh di pagi hari dilanjutkan dengan dzikir. Kemudian para santri itu bermujahadah sambil melakukan kegiatan lainnya seperti bertani dan kerja bakti memperbaiki lingkungan sekitar. Kegiatan bermujahadah di Babul Al Nurillah merupakan satu kekuatan religius yang sangat penting dalam upaya membentuk ketaqwaan kepada Allah.

”Tujuan kami di sini bermujahadah yaitu memerangi nafsu, hasrat dan iri dengki sesama manusia. Inilah yang kami perangi dengan mujahadah. Mujahadah sebagaimana disebutkan dalam hadist yang artinya barangsiapa yang mengasingkan dirinya dengan mujahadah Allah akan memperbaiki sir-nya dan hatinya,” kata Tengku Iskandar, salah seorang murid Bantaqiah.


Selain mereka yang menetap di pesantren ini, masih ada lagi orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.

Sebagian besar murid adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak.

Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini.

Jumlah murid yang pernah menuntut ilmu di Babul Al Nurillah tercatat lebih kurang 30.000 orang. Mreka berasal dari berbagai pelosok Aceh, Medan, Jakarta, bahkan negeri jiran Malaysia.

Lulusan pesantren hidup dan bekerja di bidang yang beragam. Ada petani, pedagang, pegawai swasta dan pegawai negeri, bahkan anggota TNI.

Bantaqiah orang yang teguh dalam berpendirian. Ia pernah menolak bergabung dengan Majelis Ulama Indonesia cabang Aceh. Tak jarang ia jadi sasaran fitnah mereka yang berseberangan dengannya. Ia dituduh sebagai orang yang memiliki ajaran sesat. Pada tahun 1985 ia dan beberapa muridnya dijuluki gerakan Jubah Putih.

Ia pun dikelompokkan sebagai pembangkang. Untuk melunakkan hatinya, pemerintah daerah Aceh membangunkan sebuah pesantren untuknya. Namun pesantren baru ini berdiri di kecamatan Beutong Bawah. Lokasinya yang jauh dari Babul Al Nurillah membuat ia dan para muridnya menolak pesantren baru tersebut..

Penolakan ini berbuah petaka. Hubungan Bantaqiah dan pemerintah jadi kurang hangat. Pada tahun 1992 ia dituduh sebagai Menteri Urusan Pangan Gerakan Aceh Merdeka. Ia kemudian dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menjabat presiden ketiga Indonesia dan berkunjung ke Aceh, masyarakat meminta kepadanya untuk melepaskan sang tengku dari penjara. Habibie mengabulkan tuntutan itu. Bantaqiah dibebaskan dari bui.

Namun, masalah belum selesai sampai di situ.

Pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan brigadir mobil mendirikan tenda-tenda di seputar pegunungan Beutong Ateuh. Warga desa mencurigai keberadaan mereka, namun warga tidak mengetahui tujuan mereka yang berada di tenda-tenda tersebut.

Di masa itu pula telah terjadi penembakan terhadap warga yang sedang mencari udang di sungai. Satu orang terluka, sedangkan yang seorang lagi melarikan diri ke hutan. Kejadian ini makin meresahkan warga Beutong Ateuh.



JUMAT, 23 Juli 1999, pukul 08.00, pasukan TNI mulai memantau pesantren dari seberang sungai. Pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya kira-kira 100 meter di sebelah timur pesantren.. Pukul 10.00 pasukan tersebut mulai mendekati pesantren. Pukul 11.00 pasukan berseragam dan bersenjata lengkap mulai memasuki pekarangan pesantren Babul Al Nurillah. Mereka memiliki ciri lain: wajah sebagian dari mereka berpulas cat hitam dan hijau. Pukul 11.30 mereka mulai berteriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.

Sudah menjadi kebiasaan para santri untuk berkumpul di hari Jumat. Setelah cukup lama mendengar serdadu-serdadu itu berteriak-teriak, Tengku Bantaqiah pun datang menemui mereka bersama seorang muridnya.

Hasilnya? Semua santri laki-laki disuruh turun oleh tentara, lalu dikumpulkan di tanah lapang dan diperintahkan berjongkok menghadap sungai Beutong. Santri perempuan tetap di lantai atas. Bangunan pesantren terbuat dari papan dan balok kayu, berlantai dua.

Tengku Bantaqiah diminta menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena ia merasa tidak pernah memiliki senjata yang dimaksud tentara, ia membantah keras tuduhan tersebut. Pernyataan sang tengku ternyata tak memuaskan mereka. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren ikut dipertanyakan.

Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan.

Melihat perlakuan kasar terhadap putranya ini, Bantaqiah tak tinggal diam. Ia mencoba menghampiri putranya. Di saat itu pula, terdengar aba-aba menembak. Bantaqiah diberondong dengan senjata pelontar bom. Ia jatuh tersungkur ke tanah.

Pasukan lantas mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri, membabi-buta. Lima puluh enam orang meninggal seketika. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah.

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang.

Tiba-tiba salah seorang santri, yang entah karena rasa putus asa atau marah, langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Tentara –tentara itu serta-merta menembak ke arah jurang.

Nasib para santri yang tersisa tak diketahui. Mereka masih dinyatakan hilang oleh keluarganya sampai hari ini.

Pada pukul 16.00, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad Bantaqiah, putra, dan murid-muridnya. Sedangkan santri perempuan dan istri-istri almarhum digiring menuju mushola yang berada di seberang sungai. Mereka dilarang menyaksikan penguburan itu.

Belum puas hati mereka, pasukan ini lantas membakar kitab-kitab agama dan Alquran di pesantren.



KAIN putih usang itu terus melambai-lambai di areal pemakaman, yang berada di samping mushola pesantren Babul Al Nurillah. Di situlah Bantagiah dan para santrinya terbaring selamanya.

Delapan tahun sudah lewat sejak kejadian tersebut, tetapi tiap tanggal 27 Juli setiap tahun keluarga almarhum Bantaqiah melaksanakan doa bersama untuk mereka yang meninggal dunia.

Pada 11 Agustus 2007 yang lalu, warga dan para santri juga melangsungkan kenduri aneuk yatim dan doa bersama. Panitia mengundang orang-orang pemerintah, dan beberapa dari mereka itu hadir di Beutong Ateuh. Delapan tahun lalu, mustahil mereka hadir di tempat ini.

”Ini pun karena sudah diundang, kalau tidak mungkin tidak akan pernah datang. Mungkin kami tidak pernah dianggap masyarakatnya.
Maklum kami di sini orang-orang yang dianggap sesat dan zalim. Namun yang sangat kami sayangkan kenapa tindakan kekerasan diambil tanpa ada proses hukum. Kalau benar sesat, ada hukum, jangan melalui kekerasan, “ tutur Tengku Iskandar kepada saya.

Di antara para undangan saya melihat antara lain, pengurus Badan Reintegrasi Aceh, wakil pemerintah kabupaten Nagan Raya, asisten gubernur, wartawan, dan aktivis hak asasi manusia..

Secara bergiliran mereka yang hadir diminta menyampaikan pidatonya di podium yang sudah disediakan. Rata-rata pidato menyebutkan bahwa peringatan ini bukan untuk membuka luka lama, melainkan mengingatkan setiap orang untuk menjaga agar kekerasan yang dialami Tengku Bantaqiah tak perlu lagi terjadi di masa mendatang. Ada juga yang menghimbau agar anak-anak yatim dan para janda yang diakibatkan peristiwa itu disantuni dan diperhatikan nasibnya.

Pidato Hasyem Ibrahim yang mewakili pemerintah kabupaten Nagan Raya cukup menarik, karena ia berani menyebut Bantaqiah yang dulu dicap pemberontak oleh negara Indonesia dan pembawa aliran sesat itu sebagai ”syuhada”. Ia mengajak hadirin memanjatkan doa bagi yang telah tiada dan meminta para bapak menyekolahkan anak-anak mereka supaya pintar untuk mengisi masa damai di Aceh.

”Kalau ada pengetahuan, maka kita akan lebih pandai dan tidak mudah ditipu oleh siapapun,” katanya.

Mengapa cuma para bapak yang diminta partisipasinya oleh Hasyem? Bukankah peran kaum ibu tak kalah pentingnya dalam mendidik anak? Apakah karena rata-rata hadirin berjenis kelamin laki-laki? Apakah karena hanya para bapak dianggap yang punya uang dan mencari nafkah? Entahlah.

Tentu saja, orang yang paling menarik perhatian saya adalah Tengku Malikul.

Ia berbadan tegap. Jalannya cepat. Rambutnya yang gondrong dibiarkan lepas tergerai dari balik peci hitamnya. Siang itu ia mengenakan kemeja batik dipadu celana hitam dengan lilitan kain sarung menutupi celananya.

Tangan Malikul tak henti-henti menyalami tamu-tamu yang datang. Tatapannya tajam, tapi tutur katanya halus.

Dulu ia pernah merantau ke Pidie. Di Pidie ia juga menuntut ilmu sambil bercocok tanam. Sekarang ia sudah kembali ke tanah leluhurnya, setelah kejadian berdarah menimpa keluarganya. Meski usianya masih muda, ia kini dipercaya untuk melanjutkan tugas ayahnya, yaitu mengurusi pesantren dan para santri. Dialah pemimpin pesantren Babul Al Nurillah sekarang ini.

“Kami selaku hamba lemah dan fana tidak mau berpolitik, kalau tujuan bapak-bapak yang baik, maka hanya doa yang ada dari kami. Kita sama-sama mengenang delapan tahun tragedi pembantaian almarhum Tengku Bantaqiah. Harapan kami cukup kali ini kami rasakan, semoga tidak terulang lagi, karena cukup pedih yang kami rasakan akibat ulah kebiadaban manusia. Namun yang perlu kami ketahui apa tujuan kami dibunuh, sampai hari ini masalahnya belum ada yang bertanggung jawab. Atas nama manusia belum ada yang mampu memberi tanggung jawab atas kejadian yang menimpa kami,” kata Malikul, ketika berpidato di hadapan undangan.

Kegiatan belajar-mengajar di Babul Al Nurillah tetap berlangsung sebagaimana saat Bantaqiah masih hidup, meski serba terbatas. Pesantren ini belum memiliki dana untuk mengganti seluruh Alquran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar tentara delapan tahun lalu. Pembakaran itu bersamaan dengan pembakaran seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan barang-barang milik Bantaqiah serta santrinya yang diberondong peluru.

Kini Beutong Ateuh tak hanya dikenang sebagai lembah hijau nan subur, tetapi lembah kesedihan. Warga desa masih belum bisa melupakan peristiwa itu dan luka-luka di hati mereka yang ditinggalkan belum lagi sembuh.

Hari mulai beranjak malam. Para tamu, termasuk saya, mulai meninggalkan halaman pesantren. Acara telah usai, tetapi peringatan ini justru memberi peringatan bahwa negara Indonesia belum bertanggung jawab terhadap seluruh kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh selama konflik hampir 30 tahun. Para pelaku kekerasan itu masih bebas berkeliaran, tak tersentuh hukum.***


*) Feri Kusuma adalah aktivis Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan Aceh