Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Rabu, 19 Februari 2014

Catatan Linda Christanty

Tidak banyak orang berani memilih hidup jadi pembela kemanusiaan.  Pihak-pihak yang dulu berkonflik tidak ingin tindakannya diusut atau diperkarakan lagi, sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk mencegahnya. Di lain pihak, orang-orang yang selamat dari penyiksaan dan kekerasan itu menaruh harapan besar pada orang yang menyuarakan nasib mereka hingga selalu bertanya, “Kapan pembunuh orangtua kami diadili? Kapan anak kami kembali? Berapa tahun lagi? Berapa bulan lagi? Kapan pastinya?” Pertanyaan-pertanyaan ini selalu  menghantui pikiran dan perasaan, sehingga membuat para aktivis ingin bekerja lebih keras dan kadangkala, putus asa, begitu upaya tersebut menemui jalan buntu dan hal itu sering terjadi di negeri dengan hukum yang bisa diperjualbelikan serta tunduk pada senjata.

Apa yang harus dikatakan pada orang-orang yang berharap? Bagaimana mengatakannya? Kadangkala semua orang lupa bahwa pembela yang paling tangguh sekalipun bukanlah tukang sulap dengan tongkat ajaib. Namun, mustahil mengatakan hal seperti ini pada orang-orang yang menderita dan nyaris tidak memiliki apa pun selain harapan. Dan setiap pejuang memang sudah digariskan untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, melainkan lebih memikirkan orang lain.

Feri Kusuma bertahun-tahun bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia  dan  dia mengalami apa yang saya ungkapkan tadi. Saya mengenalnya pertama kali di Aceh ketika dia masih bekerja di Kontras Aceh.  Dia seorang pekerja lapangan yang gigih dan senang belajar. 

Feri kemudian menulis untuk Aceh Feature, sindikasi media di Banda Aceh, sebagai kontributor. Saya menjadi editornya. Tulisan-tulisan  Feri sering membuat  saya  tidak sanggup untuk menyuntingnya. Bukan karena tulisan itu begitu ruwet dan mematahkan semangat  saya, melainkan karena saya menyimak cerita yang tak terbayangkan bisa dilakukan manusia yang beradab terhadap sesamanya dan tindakan tersebut nyata.

Tulisan-tulisan  Feri juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang punya peran terbesar dalam memusnahkan speciesnya sendiri dibandingkan binatang-binatang terbuas di dunia ini. Manusialah yang menghancurkan manusia, sama seperti mereka menghancurkan alam atau lingkungan. 

Konflik bersenjata  selama hampir 30 tahun di Aceh, antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka telah mengorbankan ribuan orang sipil, laki-laki, perempuan, anak-anak, orangtua, yang tewas, diperkosa maupun yang dihilangkan paksa.

Rekonsiliasi pascadamai di Aceh akan benar-benar terwujud apabila pelaku pelanggaran kemanusiaan itu mengakui kejahatannya atau diadili sesuai hukum yang berlaku. Feri dan teman-temannya telah bekerja keras untuk membangun jalan bagi tujuan tersebut. Jalan yang kelihatannya cukup panjang dan seandainya jalan itu tidak bisa diselesaikan generasi Feri, maka generasi berikutnya harus melanjutkan pekerjaan ini.

Tulisan-tulisan Feri ini tidak hanya memberi pengetahuan tentang berbagai pengalaman warga sipil Aceh  di masa konflik, tentang kehilangan dan kehancuran yang mereka alami, melainkan juga bagaimana mereka melanjutkan hidup sampai hari ini. Barangkali sejumlah orang yang tidak suka mengenang buruk dan pahitnya masa lalu akan berkata bahwa tulisan-tulisan ini tidak memberi semangat dan malah menyulut api baru. Namun, pikiran semacam itu bisa dibantah dengan mengatakan bahwa memilih diam, pembiaran dan menolak kebenaran adalah juga kejahatan kemanusiaan.

Tulisan-tulisan Feri juga dapat diperlakukan sebagai dokumentasi sejarah tentang konflik terpanjang dalam sejarah Indonesia.  Kita berterima kasih pada Feri, karena dia telah menulisnya untuk kita di sela-sela pekerjaan yang berat, penuh risiko dan menuntutnya untuk bergegas.*

Linda Christanty

Damai Tanpa Keadilan


Oleh; Feri Kusuma

Hari ini, 15 Agustus 2013, tepat delapan tahun sudah usia Perjanjian Damai Aceh. Rakyat Aceh patut bersuka cita menyambut hari bersejarah ini. Hari itu merupakan hari dimana air mata telah tergantikan dengan senyum sumringah. Lentusan senjata yang mencabut nyawa-nyawa manusia tak berdosa, kini telah kembali ke sarungnya.

Tapi kebahagian ini belum lah lengkap rasanya kalau hati mereka (korban) masih terganjal menunggu jawaban atas misteri hilangnya orang-orang yang diculik pada masa konflik.

Dalam setiap perjamuan dengan keluarga orang hilang, kalimat ini ”meunyoe mantoeng hudep dipat alamat, adah pie ka matee dipat kuburan jeut mangat kamoe jak ziarah (kalau masih hidup dimana alamatnya, andai pun sudah meninggal dimana kuburan agar kami bisa berziarah) sering mereka ucap. Kalimat ini mengusik hati nurani yang paling dalam. Selama kehidupan masih ada, mereka akan terus bertanya dan mendambakan rasa keadilan.

Delapan tahun sudah. Namun lembaran hitam sejarah Aceh belum jelas siapa pelakunya. Korban pun makin terabaikan. Keadilan dan kebenaran yang diimpikan tak kunjung turun ke bumi Serambi Mekkah. Rakyat terus dibuat menanti adil membumi di tanah pusaka endatu.

Kondisi ini makin memperdalam kekecewaan mereka kepada Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia. Terlebih lagi persenglingkuhan elit politik makin memperlebar jarak antara keadilan masa lalu dengan kepentingan pragmatis segelintir manusia.

Doa, air mata, darah, harta, dan nyawa yang telah melayang dalam perjuangan melawan ketidakadilan seakan tak bernilai. Jika pemimpin Aceh terus mengabaikan ini, tidak usah terkejut kalau kata-kata “penghianat” terucap lantang dari mulut-mulut mereka. Kemudian berubah menjadi pemberontakan baru.

Perlu diingat bahwa ketidakadilan adalah faktor utama terjadinya pemberontakan. Itu juga salah satu faktor yang mendorong Wali Hasan Tiro melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Indonesia. Meskipun perjuangan tak mampu mengantar Aceh pada tepian pemisahan ‘diri’ dari bingkai NKRI. Namun Wali Hasan Tiro telah menoreh sebuah perubahan progressif yang diakui ban sigoem donya (di seluruh dunia-red). MoU Helsinki merupakan kehendak Yang Maha Kuasa sekaligus buah ikhtiar perjuangan bangsa Aceh yang mampu mendudukkan Pemerintah Indonesia di meja perundingan.

Kini, tinggal giliran pemerintah berkomitmen menjalankan amanat MoU Helsinki. Apa yang akan anda perbuat untuk rakyat yang sekarang menunggu uluran tangan dan intervensi anda untuk menuju Aceh yang lebih adil dan bermartabat.

Rakyat Aceh menginginkan Aceh berubah menuju ke arah yang lebih adil, aman dan damai. Anda harus mengutamakan rakyat, terutama mereka para korban. Jangan mau didikte oleh para penjahat kemanusiaan, cukong atau pun penyandang dana yang dulu memberi bantuan. Tak boleh ada balas budi yang mengabaikan hati nurani.

Saya masih menaruh harapan pada pemimpin Aceh, meskipun sedikit pesimis. Sebab, tak ada tempat lain yang bisa diharapkan. Terlebih lagi pada Pemerintah Pusat, yang lebih mirip ‘wajah baru’ dari rezim Orde Baru.

Kita berharap Pemimpin Aceh segera menunjukkan keberanian penuh ketulusan demi keadilan dan kebenaran. Rekonsiliasi paska damai itu sangat penting, seperti Astar Siregar menulis dalam bukunya Reconciliation in Poetry, betapapun kelat pahitnya, masa lalu harus diungkapkan. Rekonsiliasi adalah keberanian penuh ketulusan untuk mengerti kelamnya silam demi esok yang lebih cemerlang. Rekonsiliasi merupakan prasyarat untuk pembangunan. Taklah mungkin negeri dibangun di atas dendam, pertengkaran, pertikaian yang tak berkeseduhan.

Tapi jangan lupa, rekonsiliasi harus diawali dengan pengakuan atas kejahatan seperti yang diuraikan oleh Teuku Kemal Fasya dalam tulisannya Merekonsiliasikan Kejahatan Masa Lalu?. Rekonsiliasi menjadi mekanisme yang diperlukan untuk membahasakan kejahatan masa lalu secara jernih, realistis, dan objektif, tanpa kehilangan semangat keadilan. Konsep rekonsiliasi menyandarkan pada pemahaman bahwa tidak ada kejahatan yang kebal hukum (impunitas) meskipun tak ada garansi mengembalikan situasi seperti sediakala. Rekonsiliasi mendudukkan dengan tepat dan beradab, siapa yang menjadi korban (the victim) dan siapa pelaku (the perpetrator).

Aceh punya harapan menuju kesana. MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh mengamanahkan pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) Aceh. Sudah seharusnya Qanun tentang KKR Aceh harus diterbitkan dalam tahun ini. Seperti janji Ketua DPRA Hasbi Abdullah yang mengatakan Qanun KKR akan disahkan pada tahun ini (2013). Qanun ini adalah kebutuhan rakyat Aceh, dan lebih mendesak dibandingkan dengan aturan lainnya.*








Harapan Korban Pada Pemerintah Aceh



Oleh; Feri Kusuma
           
Beberapa hari lalu, 10 Januari 2013, korban dan warga memperingati 14 tahun peristiwa pembantaian Pusong, Kandang dan Gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Sejenak kita kenang kembali apa yang terjadi pada masa lampau. Pada tanggal 3 Januari 1999, di Jalan Sukaramai, Kota Lhokseumawe, aparat menembak warga yang sedang menuju ke Kantor Bupati. Peluru tentara menewaskan tujuh orang dan melukai 23 orang warga sipil. Lima hari berselang atau tepatnya 9 Januari 1999. Kejahatan kembali terjadi. Tim Gabungan Satgas 99 menggempur Muhammad bin Rasyid alias Ahmad Kandang yang disebut pihak militer sebagai gembong Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Desa Meunasah Blang. Karena tidak menemukan Ahmad Kandang, aparat menyasar warga sipil. Dalam insiden itu satu warga sipil tewas ditembak, dan 40 orang ditangkap.

Tentara juga menangkap warga sedang melintas di jalan-jalan. Hari itu diperkirakan sekitar 73 warga telah ditangkap. Kemudian warga dikumpulkan disebuah ruangan Gedung KNPI yang berada berdampingan dengan Markas Korem Lilawangsa. Sekitar 50 tentara dari satuan Denrudal 001, Yonif 131/YS, Yonif 111/KB, Den Bekang RFM 011/Lilawangsa, Makodim 0103/AUT, Makorem 001/LW masuk ke dalam gedung menyiksa mereka tanpa ampun. Lima orang meregang nyawa karena luka parah di kepala dan wajah. Sedangkan  27 orang lagi luka serius dan dirawat di rumah sakit.

Setelah insiden itu, Pengadilan Militer menghukum Mayor Bayu Nadjib (pelaksana harian Komandan 113/JS dan Kasdim 0103 Aceh Utara) enam tahun penjara dan dipecat. Empat prajurit yang ikut terlibat, Amsir, Manuhun Harapan, Manolam Sitamorang, dan Efendi juga dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara serta dipecat dari militer.

Pengadilan Militer tidak menjawab permasalahan yang dihadapi oleh korban. “Saya sekarang meskipun secara fisik baik, tapi dalam hati masih sangat terluka. Cukup saya saja yang merasakan. Semoga tidak dialami lagi oleh orang lain,” kata Nurhayati, salah seorang korban masa konflik Aceh.
 
Dalam peristiwa Pusong, Nurhayati terkena tembakan di kaki dan di pantat. Nurhayati juga kehilangan ibunya Fatimah. Fatimah terkena peluru dibagian perut setelah peluru tajam itu menembus kaki cucunya M. Nazir yang saat itu berada dalam gendongannya. Suaminya Abdullah Sali Abidin juga mengalami penyiksaan saat mencari Nurhyati di rumah sakit. Abdullah ditangkap dan disiksa di Simpang Jam. Kemudian dibawa ke Gedung KNPI dan kembali kena siksa. Akibat penyiksaan itu, Abdullah hingga sekarang tak bisa lagi bekerja. M. Nazir yang terkena peluru juga sering mengeluh sakit dibekas luka tembakan. Kalau tersentuh atau kalau lagi petir terasa sakit sekali. Badannya langsung panas demam.

Hal yang wajar kalau korban sampai hari ini masih menuntut diperlakukan lebih baik, dan dipenuhi hak-haknya. Apa yang mereka inginkan? Korban ingin keadilan. Korban ingin pemulihan dan ganti rugi atas kerugian yang mereka alami, baik materil maupun immateril. Korban butuh trauma healing dan konselling agar sakit hati seperti dialami oleh Nurhayati dapat dipulihkan.  Korban ingin sejarahnya dicatat dan disampaikan kepada generasi penerus supaya mereka bisa memetik pembelajaran.

Setiap hari mereka mengenang kejadian ini sebagai bentuk melawan lupa dan mengingatkan pemerintah. Sembari juga berdoa kepada mereka yang telah tiada diberikan pahala syahid dan yang masih hidup diberi kekuatan dan kesabaran.

Menyambut tahun 2013 ini dengan momentum peristiwa tersebut maka sudah sepatutnya menjadi renungan kembali bagi semua pihak bahwa sampai saat ini masih ada masalah yang belum selesai.

Perlu diingat bahwa Perdamaian ini lahir dari perjuangan, air mata dan darah mereka. Mengutip kata-kata Dosen Fakultas Hukum Univ Syiah Aceh, Saifuddin Bantasyam, “Jika kita diibaratkan perdamaian yang kita nikmati saat ini semacam makanan yang kita santap diatas meja, maka janganlah pernah lupa bahwa bahan mentah makanan tersebut adalah penderitaan, darah dan air mata.”

Sudah sepatutnya pemerintah Aceh yang saat ini berkuasa memikirkan secara serius persoalan korban.  Pemenuhan hak-hak korban sejalan dengan visi perjuangan Wali Hasan Tiro. Tokoh karismatik ini berjuang demi melawan ketidakadilan. Maka sangat naif jika pemerintah yang berkuasa menggabaikan ini.

Pemerintah Aceh bisa mewujudkan harapan korban tersebut, asal ada itikad baik dan keseriusan serta empati kepada mereka. Meskipun pemenuhan hak-hak tersebut tidak akan sepenuhnya sempurna. Karena berbagai alasan. Namun setidaknya, Pemerintah bisa melakukan sebuah upaya yang progresif. Misalnya menjalankan amanat MoU Helsinki tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM. Dan mendorong Komnas HAM melakukan penyelidikan projusticia. Agar tabir kelam masa lalu terbongkar dan moga saja semua hak-hak korban terpenuhi.

Walikota Lhokseumawe
jangan hanya disibukkan dengan aturan larang “ngangkang” bagi perempuan berboceng di sepeda motor. Tapi pikirkan nasib korban. Tahun lalu, Suadi Yahya pernah berjanji akan serius memikirkan nasib korban. Begitu juga, ketua DPRK Saifuddin Yunus yang mengatakan malu dan berdosa apabila pemenuhan hak-hak korban dan penyelesaian masa lalu tidak dilakukan. Kita mau lihat, apakah Walikota dan DPRK berani melakukan sebuah tindakan nyata yang dapat menarik perhatian dunia dan dapat merubah kehidupan korban yang lebih baik.

Tentunya, harapan paling besar dialamatkan kepada Gubenur Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai Pemerintah Aceh yang memiliki kewenangan penuh mengubah nasib korban kedepan. Dua tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini pasti paham betul bagaimana getirnya konflik. Mereka juga tahu persis apa yang diinginkan oleh korban. Pemerintahan ini bisa melakukan sebuah upaya, seperti mendorong kader Partai Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mambahas dan mensahkan Qanun KKR sebagaimana amanat MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh.

Sebab, Qanun KKR sampai hari ini masih mentok karena DPRA beralasan bahwa Qanun KKR tidak dapat dibentuk sebelum adanya UU KKR. Padahal berbagai pendapat hukum sudah diutarakan, seperti yang disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie. “Meski MK telah mencabut UU KKR, KKR untuk Aceh tetap bisa dibentuk. Pembentukannya bisa didasarkan pada UUPA. KKR Aceh tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UUPA sendiri (detiknews. 8/12/2006)”.

Tidak alasan sebenarnya bagi DPR Aceh untuk menunda-nunda lagi. Kita paham bahwa Qanun KKR ini tidak dapat menjangkau sampai ke pelaku diluar Aceh. Untuk urusan itu biarkan mekanisme lain tingkat nasional nantinya akan menjawab. Yang penting usaha itu harus diawali dari Aceh.  Setidaknya kalau KKR Aceh ini terbentuk sesuai keinginan korban dan berjalan sesuai jalurnya. Insya Allah 70 persen keinginan korban sudah terpenuhi. Semoga tahun 2013 ini menjadi tahun yang baik bagi korban, dan Doto Zaini serta Mualem mau merealisasikan cita-cita mulia tersebut.*

KKR, Amanat MoU yang Terabaikan



Oleh; Feri Kusuma

MENGAPA proses pembentukan KKR dan Pengadilan HAM di Aceh terlambat, bahkan terkesan tidak tidak sungguh-sungguh untuk dibentuk? Baik Eksekutif maupun Legislatif sama-sama melempem begitu bicara tentang hak-hak keadilan hukum bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Tiba-tiba seluruh pemangku tanggungjawab politik dan hukum di Aceh seperti lupa pada pahitnya derita konflik semasa GAM berperang melawan TNI. Seakan mereka lupa bahwa konflik bersenjata berkepanjangan di Aceh telah mengakibatkan tragedi kemanusiaan mengerikan. Ribuan orang, mayoritas warga sipil, meninggal, hilang, disiksa, dipenjara, dan diperkosa selama operasi militer berlangsung di Aceh.

Beruntung setelah melalui proses yang panjang dan rumit sebuah kesepakatan damai berhasil dicapai melalui Nota Kesepahaman pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005, di Helsinki, Finlandia. Baik Pemerintah Indonesia dan GAM menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Kedua pihak menyepakati hal-hal yang terkandung dalam MoU Helsinki. Parlemen Indonesia mengkodifikasi MoU dengan mengesahkan Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA), 11 Juli 2006 (UU No.11/2006). Sebuah aturan yang mengatur pemerintah lokal Aceh dibawah sistem otonomi, mengelola urusan sendiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Salah satu point penting yang disebutkan dalam MoU Helsinki dan UUPA adalah bagaimana pemerintah Aceh dan pemerintah Nasional menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu di Aceh. Hal ini disebutkan dalam artikel 229, bahwa kemungkinan menemukan kebenaran dan mencapai rekonsiliasi pada kasus hak asasi manusia di masa lalu dengan mendirikan KKR di Aceh yang merupakan bagian integral dari KKR Nasional/Indonesia. Tanggal 7 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-undang No. 27/2004 tentang KKR melalui putusan No. 006/PUU-IV/2006.

Menurut mantan ketua MK, Jimly Asshidiqie, meski MK telah mencabut UU KKR, KKR untuk Aceh tetap bisa dibentuk. Pembentukannya bisa didasarkan pada UUPA. KKR Aceh tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UUPA sendiri. (detiknews. 8/12/2006)

Secara asas peraturan perundang-undangan, UUPA berlaku asas lex specialist derogate lex generalist (peraturan yang khusus mengenyampingkan peraturan yang umum). Elemen masyarakat sipil di Aceh terus mendesak Pemerintah Aceh agar segera membentuk KKR di Aceh melalui Qanun (peraturan daerah). Elemen sipil percaya bahwa berurusan dengan masa lalu adalah hal terpenting dalam rangka menjaga perdamaian dan mencapai rekonsiliasi di Aceh. Perdamaian dan rekonsiliasi di Aceh dapat dipertahankan jika masalah masa lalu diselesaikan dengan cara yang adil dan terbuka. Jika kasus masa konflik tidak diselesaikan maka sejarah konflik kekerasan akan berulang.

Desakan ini mendapat respon positif dari Gubernur Aceh dan Wakilnya pada awal-awal pemerintahan mereka. Irwandi Yusuf mengatakan sepakat bahwa pembentukan KKR Aceh perlu segera mungkin dilakukan dalam rangka mendorong proses perdamaian secara tuntas terutama ditingkat masyarakat yang telah terbelah karena konflik berkepanjangan. Pembentukan KKR Aceh juga untuk mendorong upaya penegakan HAM di Aceh dan korban dari berbagai pelanggaran HAM untuk mendapatkan hak-haknya berupa rehabilitasi dan  kompensasi. (http://beritasore.com/2007/05/15/kkr-aceh-tetap-dibentuk)

Pernyataan yang sama disampaikan oleh wakil gubernur Aceh, Muhammad Nazar. Dia mengatakan Pemerintah Aceh sudah menyatakan tekad menangani berbagai pelanggaran HAM masa lalu. Tekad tersebut segera diwujudkan dengan membentuk KKR. Target pemerintah Aceh pada 2007, KKR harus sudah terbentuk.(Rakyat Aceh.com, 23 Januari 2007).

Pertemuan reguler Commission on Sustaining Peace in Aceh (CoSPA) juga membahas terkait KKR Aceh. Pimpinan pertemuan CoSPA, Ir. Azwar Abu Bakar (sekarang Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi/Menpan RB), mengatakan Pengadilan HAM dan KKR Aceh merupakan amanat MoU, dan CoSPA mendesak pemerintah pusat mempercepat pembentukan pengadilan HAM dan KKR untuk Aceh.

Pada tanggal 29 April 2008, dalam rapat yang digelar di Sekretariat Forbes Damai Aceh, Kompleks Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, anggota Forbes Damai Aceh sepakat untuk membahas Rancangan Qanun (Raqan) KKR. Tugas ini kemudian dilaksanakan oleh Badan Narasumber Damai Aceh atau Aceh Peace Resouces Center (APRC). Kemudian Gubernur Aceh melalui keputusannya No. 188.342/37/2008, tanggal 8 April 2008, membentuk tim pra Raqan KKR. Tim ini terdiri dari sedikitnya 40 pakar (dua diantaranya dari Jerman), akademisi dan praktisi dilibatkan pemerintah dalam menyusun satu draf Raqan KKR.

Ketua Crisis Management Initiative (CMI) dan Interpeace Peacebuilding Alliance Martti Ahtisaari, ketika berkunjung ke Indonesia, 7 Mei 2008, juga mempertanyakan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang KKR Aceh yang belum terbentuk.

Kemudian elemen masyarakat sipil Aceh terdiri dari korban dan para pegiat HAM yang tergabung dalam Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK) menyusun Draf Qanun dan Naskah Akademik KKR versi masyarakat sipil. KKR usulan KPK menjabarkan proses pengungkapan kebenaran ditingkat lokal yang dirancang dan dilaksanakan di Aceh. Tujuan utamanya, mendengarkan pengalaman dan harapan korban. Selain itu adanya pengakuan tentang apa yang dialami korban dan pemenuhan terhadap hak-hak fundamental korban. Draf sudah diserahkan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Desember 2008. Namun sayangnya tak ada pembahasan sampai akhir masa tugas DPRA periode yang lalu itu.

Pemerintah Aceh juga mulai mengingkari janji awalnya. Irwandi mengatakan konflik yang terjadi bukan antara rakyat Aceh dengan rakyat Aceh, tapi antara pemerintah pusat dengan Aceh. (serambi indonesia, 18 Agustus 2010). Pembentukan KKR Aceh membutuhkan dana besar. Jadi tidak cukup kalau dibentuk dengan Qanun. (serambi indonesia, 18 Agustus 2010)

DPRA periode 2009-2014, juga tak bisa diharapkan. Meskipun pada tanggal 10 Desember 2010, Hasby Abdullah (Ketua DPRA), Sulaiman Abda (Wakil Ketua I), Tgk. Ramli (Ketua Fraksi Partai Aceh), H. Fuady Sulaiman (Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Tgk. Muhibbusabri AW (Partai Daulat Aceh), telah menandatangani komitmen akan membahas dan mensahkan Qanun KKR Juli 2011.

Tahun 2011, dari 31 Raqan prioritas 2011, cuma sembilan qanun yang disahkan, tidak termasuk Qanun KKR. Kondisi ini sangat menyedihkan mengingat korban dan masyarakat sipil secara terus menerus mengingatkan eksekutif dan legislatif agar KKR Aceh terbentuk dengan melakukan berbagai upaya; seperti melakukan pengungkapan kebenaran (testimonial), pembuatan monumen pelanggaran HAM dan peringatan peristiwa pelanggaran HAM, dan Museum HAM.

Pembentukan KKR sebagai sikap negara yang mau mengakui kesalahan masa lalu, menghargai dan menghormati korban dan political will untuk merubah perilaku institusi dan kebijakan. Tapi saya kurang yakin dalam dalam lima tahun kedepan ini KKR Aceh akan terbentuk jika mengamati situasi politik akhir-akhir ini. Meski pun Badan legislasi (Banleg) DPRA memasukan lagi draf Qanun KKR dalam Prolega 2012. Semoga saja prediksi saya ini salah. Kita lihat saja nanti.*