Tidak banyak orang
berani memilih hidup jadi pembela kemanusiaan.
Pihak-pihak yang dulu berkonflik tidak ingin tindakannya diusut atau
diperkarakan lagi, sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk mencegahnya.
Di lain pihak, orang-orang yang selamat dari penyiksaan dan kekerasan itu
menaruh harapan besar pada orang yang menyuarakan nasib mereka hingga selalu
bertanya, “Kapan pembunuh orangtua kami diadili? Kapan anak kami kembali?
Berapa tahun lagi? Berapa bulan lagi? Kapan pastinya?” Pertanyaan-pertanyaan
ini selalu menghantui pikiran dan
perasaan, sehingga membuat para aktivis ingin bekerja lebih keras dan
kadangkala, putus asa, begitu upaya tersebut menemui jalan buntu dan hal itu
sering terjadi di negeri dengan hukum yang bisa diperjualbelikan serta tunduk
pada senjata.
Apa yang harus
dikatakan pada orang-orang yang berharap? Bagaimana mengatakannya? Kadangkala
semua orang lupa bahwa pembela yang paling tangguh sekalipun bukanlah tukang
sulap dengan tongkat ajaib. Namun, mustahil mengatakan hal seperti ini pada
orang-orang yang menderita dan nyaris tidak memiliki apa pun selain harapan.
Dan setiap pejuang memang sudah digariskan untuk tidak hanya memikirkan dirinya
sendiri, melainkan lebih memikirkan orang lain.
Feri Kusuma
bertahun-tahun bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia dan dia mengalami apa yang saya ungkapkan tadi. Saya
mengenalnya pertama kali di Aceh ketika dia masih bekerja di Kontras Aceh. Dia seorang pekerja lapangan yang gigih dan
senang belajar.
Feri kemudian menulis
untuk Aceh Feature, sindikasi media di Banda Aceh, sebagai kontributor. Saya
menjadi editornya. Tulisan-tulisan Feri sering membuat saya
tidak sanggup untuk menyuntingnya. Bukan karena tulisan itu begitu ruwet
dan mematahkan semangat saya, melainkan karena saya menyimak cerita
yang tak terbayangkan bisa dilakukan manusia yang beradab terhadap sesamanya
dan tindakan tersebut nyata.
Tulisan-tulisan Feri juga menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk yang punya peran terbesar dalam memusnahkan speciesnya sendiri
dibandingkan binatang-binatang terbuas di dunia ini. Manusialah yang
menghancurkan manusia, sama seperti mereka menghancurkan alam atau
lingkungan.
Konflik bersenjata selama hampir 30 tahun
di Aceh, antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka telah
mengorbankan ribuan orang sipil, laki-laki, perempuan, anak-anak, orangtua,
yang tewas, diperkosa maupun yang dihilangkan paksa.
Rekonsiliasi pascadamai
di Aceh akan benar-benar terwujud apabila pelaku pelanggaran kemanusiaan itu
mengakui kejahatannya atau diadili sesuai hukum yang berlaku. Feri dan
teman-temannya telah bekerja keras untuk membangun jalan bagi tujuan tersebut.
Jalan yang kelihatannya cukup panjang dan seandainya jalan itu tidak bisa
diselesaikan generasi Feri, maka generasi berikutnya harus melanjutkan pekerjaan
ini.
Tulisan-tulisan Feri
ini tidak hanya memberi pengetahuan tentang berbagai pengalaman warga sipil
Aceh di masa
konflik, tentang kehilangan dan kehancuran yang mereka alami, melainkan juga
bagaimana mereka melanjutkan hidup sampai hari ini. Barangkali sejumlah orang
yang tidak suka mengenang buruk dan pahitnya masa lalu akan berkata bahwa
tulisan-tulisan ini tidak memberi semangat dan malah menyulut api baru. Namun,
pikiran semacam itu bisa dibantah dengan mengatakan bahwa memilih diam, pembiaran
dan menolak kebenaran adalah juga kejahatan kemanusiaan.
Tulisan-tulisan Feri
juga dapat diperlakukan sebagai dokumentasi sejarah tentang konflik terpanjang
dalam sejarah Indonesia. Kita berterima kasih pada Feri, karena dia
telah menulisnya untuk kita di sela-sela pekerjaan yang berat, penuh risiko dan
menuntutnya untuk bergegas.*
Linda
Christanty