Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Rabu, 19 Februari 2014

Harapan Korban Pada Pemerintah Aceh



Oleh; Feri Kusuma
           
Beberapa hari lalu, 10 Januari 2013, korban dan warga memperingati 14 tahun peristiwa pembantaian Pusong, Kandang dan Gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Sejenak kita kenang kembali apa yang terjadi pada masa lampau. Pada tanggal 3 Januari 1999, di Jalan Sukaramai, Kota Lhokseumawe, aparat menembak warga yang sedang menuju ke Kantor Bupati. Peluru tentara menewaskan tujuh orang dan melukai 23 orang warga sipil. Lima hari berselang atau tepatnya 9 Januari 1999. Kejahatan kembali terjadi. Tim Gabungan Satgas 99 menggempur Muhammad bin Rasyid alias Ahmad Kandang yang disebut pihak militer sebagai gembong Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Desa Meunasah Blang. Karena tidak menemukan Ahmad Kandang, aparat menyasar warga sipil. Dalam insiden itu satu warga sipil tewas ditembak, dan 40 orang ditangkap.

Tentara juga menangkap warga sedang melintas di jalan-jalan. Hari itu diperkirakan sekitar 73 warga telah ditangkap. Kemudian warga dikumpulkan disebuah ruangan Gedung KNPI yang berada berdampingan dengan Markas Korem Lilawangsa. Sekitar 50 tentara dari satuan Denrudal 001, Yonif 131/YS, Yonif 111/KB, Den Bekang RFM 011/Lilawangsa, Makodim 0103/AUT, Makorem 001/LW masuk ke dalam gedung menyiksa mereka tanpa ampun. Lima orang meregang nyawa karena luka parah di kepala dan wajah. Sedangkan  27 orang lagi luka serius dan dirawat di rumah sakit.

Setelah insiden itu, Pengadilan Militer menghukum Mayor Bayu Nadjib (pelaksana harian Komandan 113/JS dan Kasdim 0103 Aceh Utara) enam tahun penjara dan dipecat. Empat prajurit yang ikut terlibat, Amsir, Manuhun Harapan, Manolam Sitamorang, dan Efendi juga dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara serta dipecat dari militer.

Pengadilan Militer tidak menjawab permasalahan yang dihadapi oleh korban. “Saya sekarang meskipun secara fisik baik, tapi dalam hati masih sangat terluka. Cukup saya saja yang merasakan. Semoga tidak dialami lagi oleh orang lain,” kata Nurhayati, salah seorang korban masa konflik Aceh.
 
Dalam peristiwa Pusong, Nurhayati terkena tembakan di kaki dan di pantat. Nurhayati juga kehilangan ibunya Fatimah. Fatimah terkena peluru dibagian perut setelah peluru tajam itu menembus kaki cucunya M. Nazir yang saat itu berada dalam gendongannya. Suaminya Abdullah Sali Abidin juga mengalami penyiksaan saat mencari Nurhyati di rumah sakit. Abdullah ditangkap dan disiksa di Simpang Jam. Kemudian dibawa ke Gedung KNPI dan kembali kena siksa. Akibat penyiksaan itu, Abdullah hingga sekarang tak bisa lagi bekerja. M. Nazir yang terkena peluru juga sering mengeluh sakit dibekas luka tembakan. Kalau tersentuh atau kalau lagi petir terasa sakit sekali. Badannya langsung panas demam.

Hal yang wajar kalau korban sampai hari ini masih menuntut diperlakukan lebih baik, dan dipenuhi hak-haknya. Apa yang mereka inginkan? Korban ingin keadilan. Korban ingin pemulihan dan ganti rugi atas kerugian yang mereka alami, baik materil maupun immateril. Korban butuh trauma healing dan konselling agar sakit hati seperti dialami oleh Nurhayati dapat dipulihkan.  Korban ingin sejarahnya dicatat dan disampaikan kepada generasi penerus supaya mereka bisa memetik pembelajaran.

Setiap hari mereka mengenang kejadian ini sebagai bentuk melawan lupa dan mengingatkan pemerintah. Sembari juga berdoa kepada mereka yang telah tiada diberikan pahala syahid dan yang masih hidup diberi kekuatan dan kesabaran.

Menyambut tahun 2013 ini dengan momentum peristiwa tersebut maka sudah sepatutnya menjadi renungan kembali bagi semua pihak bahwa sampai saat ini masih ada masalah yang belum selesai.

Perlu diingat bahwa Perdamaian ini lahir dari perjuangan, air mata dan darah mereka. Mengutip kata-kata Dosen Fakultas Hukum Univ Syiah Aceh, Saifuddin Bantasyam, “Jika kita diibaratkan perdamaian yang kita nikmati saat ini semacam makanan yang kita santap diatas meja, maka janganlah pernah lupa bahwa bahan mentah makanan tersebut adalah penderitaan, darah dan air mata.”

Sudah sepatutnya pemerintah Aceh yang saat ini berkuasa memikirkan secara serius persoalan korban.  Pemenuhan hak-hak korban sejalan dengan visi perjuangan Wali Hasan Tiro. Tokoh karismatik ini berjuang demi melawan ketidakadilan. Maka sangat naif jika pemerintah yang berkuasa menggabaikan ini.

Pemerintah Aceh bisa mewujudkan harapan korban tersebut, asal ada itikad baik dan keseriusan serta empati kepada mereka. Meskipun pemenuhan hak-hak tersebut tidak akan sepenuhnya sempurna. Karena berbagai alasan. Namun setidaknya, Pemerintah bisa melakukan sebuah upaya yang progresif. Misalnya menjalankan amanat MoU Helsinki tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Pengadilan HAM. Dan mendorong Komnas HAM melakukan penyelidikan projusticia. Agar tabir kelam masa lalu terbongkar dan moga saja semua hak-hak korban terpenuhi.

Walikota Lhokseumawe
jangan hanya disibukkan dengan aturan larang “ngangkang” bagi perempuan berboceng di sepeda motor. Tapi pikirkan nasib korban. Tahun lalu, Suadi Yahya pernah berjanji akan serius memikirkan nasib korban. Begitu juga, ketua DPRK Saifuddin Yunus yang mengatakan malu dan berdosa apabila pemenuhan hak-hak korban dan penyelesaian masa lalu tidak dilakukan. Kita mau lihat, apakah Walikota dan DPRK berani melakukan sebuah tindakan nyata yang dapat menarik perhatian dunia dan dapat merubah kehidupan korban yang lebih baik.

Tentunya, harapan paling besar dialamatkan kepada Gubenur Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf sebagai Pemerintah Aceh yang memiliki kewenangan penuh mengubah nasib korban kedepan. Dua tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini pasti paham betul bagaimana getirnya konflik. Mereka juga tahu persis apa yang diinginkan oleh korban. Pemerintahan ini bisa melakukan sebuah upaya, seperti mendorong kader Partai Aceh di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mambahas dan mensahkan Qanun KKR sebagaimana amanat MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh.

Sebab, Qanun KKR sampai hari ini masih mentok karena DPRA beralasan bahwa Qanun KKR tidak dapat dibentuk sebelum adanya UU KKR. Padahal berbagai pendapat hukum sudah diutarakan, seperti yang disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie. “Meski MK telah mencabut UU KKR, KKR untuk Aceh tetap bisa dibentuk. Pembentukannya bisa didasarkan pada UUPA. KKR Aceh tidak terkait dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UUPA sendiri (detiknews. 8/12/2006)”.

Tidak alasan sebenarnya bagi DPR Aceh untuk menunda-nunda lagi. Kita paham bahwa Qanun KKR ini tidak dapat menjangkau sampai ke pelaku diluar Aceh. Untuk urusan itu biarkan mekanisme lain tingkat nasional nantinya akan menjawab. Yang penting usaha itu harus diawali dari Aceh.  Setidaknya kalau KKR Aceh ini terbentuk sesuai keinginan korban dan berjalan sesuai jalurnya. Insya Allah 70 persen keinginan korban sudah terpenuhi. Semoga tahun 2013 ini menjadi tahun yang baik bagi korban, dan Doto Zaini serta Mualem mau merealisasikan cita-cita mulia tersebut.*

0 komentar:

Posting Komentar