Oleh; Feri Kusuma
Beberapa hari lalu, 10
Januari 2013, korban dan warga memperingati 14 tahun peristiwa pembantaian
Pusong, Kandang dan Gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Sejenak kita kenang kembali apa yang terjadi pada masa lampau. Pada tanggal 3
Januari 1999, di Jalan Sukaramai, Kota Lhokseumawe, aparat menembak warga yang
sedang menuju ke Kantor Bupati. Peluru tentara menewaskan tujuh orang dan
melukai 23 orang warga sipil. Lima hari berselang atau tepatnya 9 Januari 1999.
Kejahatan kembali terjadi. Tim Gabungan Satgas 99 menggempur Muhammad bin
Rasyid alias Ahmad Kandang yang disebut pihak militer sebagai gembong Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) di Desa Meunasah Blang. Karena tidak menemukan Ahmad
Kandang, aparat menyasar warga sipil. Dalam insiden itu satu warga sipil tewas
ditembak, dan 40 orang ditangkap.
Tentara juga menangkap
warga sedang melintas di jalan-jalan. Hari itu diperkirakan sekitar 73 warga
telah ditangkap. Kemudian warga dikumpulkan disebuah ruangan Gedung KNPI yang
berada berdampingan dengan Markas Korem Lilawangsa. Sekitar 50 tentara dari
satuan Denrudal 001, Yonif 131/YS, Yonif 111/KB, Den Bekang RFM 011/Lilawangsa,
Makodim 0103/AUT, Makorem 001/LW masuk ke dalam gedung menyiksa mereka tanpa
ampun. Lima orang meregang nyawa karena luka parah di kepala dan wajah.
Sedangkan 27 orang lagi luka serius dan dirawat di rumah sakit.
Setelah insiden itu, Pengadilan Militer menghukum Mayor Bayu Nadjib (pelaksana
harian Komandan 113/JS dan Kasdim 0103 Aceh Utara) enam tahun penjara dan
dipecat. Empat prajurit yang ikut terlibat, Amsir, Manuhun Harapan, Manolam
Sitamorang, dan Efendi juga dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara serta dipecat
dari militer.
Pengadilan Militer tidak menjawab permasalahan yang dihadapi oleh korban. “Saya
sekarang meskipun secara fisik baik, tapi dalam hati masih sangat terluka.
Cukup saya saja yang merasakan. Semoga tidak dialami lagi oleh orang lain,”
kata Nurhayati, salah seorang korban masa konflik Aceh.
Dalam peristiwa Pusong, Nurhayati terkena tembakan di kaki dan di pantat.
Nurhayati juga kehilangan ibunya Fatimah. Fatimah terkena peluru dibagian perut
setelah peluru tajam itu menembus kaki cucunya M. Nazir yang saat itu berada
dalam gendongannya. Suaminya Abdullah Sali Abidin juga mengalami penyiksaan
saat mencari Nurhyati di rumah sakit. Abdullah ditangkap dan disiksa di Simpang
Jam. Kemudian dibawa ke Gedung KNPI dan kembali kena siksa. Akibat penyiksaan
itu, Abdullah hingga sekarang tak bisa lagi bekerja. M. Nazir yang terkena
peluru juga sering mengeluh sakit dibekas luka tembakan. Kalau tersentuh atau
kalau lagi petir terasa sakit sekali. Badannya langsung panas demam.
Hal yang wajar
kalau korban sampai hari ini masih menuntut diperlakukan lebih baik, dan
dipenuhi hak-haknya. Apa yang mereka inginkan? Korban ingin keadilan. Korban
ingin pemulihan dan ganti rugi atas kerugian yang mereka alami, baik materil
maupun immateril. Korban butuh trauma
healing dan konselling agar sakit
hati seperti dialami oleh Nurhayati dapat dipulihkan. Korban ingin
sejarahnya dicatat dan disampaikan kepada generasi penerus supaya mereka bisa
memetik pembelajaran.
Setiap hari mereka mengenang kejadian ini sebagai bentuk melawan lupa dan
mengingatkan pemerintah. Sembari juga berdoa kepada mereka yang telah tiada
diberikan pahala syahid dan yang masih hidup diberi kekuatan dan kesabaran.
Menyambut tahun 2013 ini dengan momentum peristiwa tersebut maka sudah
sepatutnya menjadi renungan kembali bagi semua pihak bahwa sampai saat ini
masih ada masalah yang belum selesai.
Perlu diingat bahwa Perdamaian ini lahir dari perjuangan, air mata dan darah
mereka. Mengutip kata-kata Dosen Fakultas Hukum Univ Syiah Aceh, Saifuddin
Bantasyam, “Jika kita diibaratkan perdamaian yang kita nikmati saat ini semacam
makanan yang kita santap diatas meja, maka janganlah pernah lupa bahwa bahan
mentah makanan tersebut adalah penderitaan, darah dan air mata.”
Sudah
sepatutnya pemerintah Aceh yang saat ini berkuasa memikirkan secara serius
persoalan korban. Pemenuhan hak-hak korban sejalan dengan visi perjuangan
Wali Hasan Tiro. Tokoh karismatik ini berjuang demi melawan ketidakadilan. Maka
sangat naif jika pemerintah yang berkuasa menggabaikan ini.
Pemerintah Aceh bisa mewujudkan harapan korban tersebut, asal ada itikad baik
dan keseriusan serta empati kepada mereka. Meskipun pemenuhan hak-hak tersebut
tidak akan sepenuhnya sempurna. Karena berbagai alasan. Namun setidaknya,
Pemerintah bisa melakukan sebuah upaya yang progresif. Misalnya menjalankan
amanat MoU Helsinki tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
dan Pengadilan HAM. Dan mendorong Komnas HAM melakukan penyelidikan
projusticia. Agar tabir kelam masa lalu terbongkar dan moga saja semua hak-hak
korban terpenuhi.
Walikota Lhokseumawe jangan hanya disibukkan dengan aturan larang
“ngangkang” bagi perempuan berboceng di sepeda motor. Tapi
pikirkan nasib korban. Tahun lalu, Suadi Yahya pernah berjanji akan serius
memikirkan nasib korban. Begitu juga, ketua DPRK Saifuddin Yunus yang
mengatakan malu dan berdosa apabila pemenuhan hak-hak korban dan penyelesaian
masa lalu tidak dilakukan. Kita mau lihat, apakah Walikota dan
DPRK berani melakukan sebuah tindakan nyata yang dapat
menarik perhatian dunia dan dapat merubah kehidupan korban yang lebih baik.
Tentunya, harapan paling besar dialamatkan
kepada Gubenur Aceh, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf
sebagai Pemerintah Aceh yang memiliki kewenangan penuh mengubah nasib korban
kedepan.
Dua tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini pasti paham betul bagaimana getirnya
konflik. Mereka juga tahu persis apa yang diinginkan oleh korban. Pemerintahan
ini bisa melakukan sebuah upaya, seperti mendorong kader Partai Aceh di Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mambahas dan mensahkan Qanun KKR sebagaimana
amanat MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintah Aceh.
Sebab, Qanun
KKR sampai hari ini masih mentok karena DPRA beralasan bahwa Qanun KKR tidak
dapat dibentuk sebelum adanya UU KKR. Padahal berbagai pendapat hukum sudah
diutarakan, seperti yang disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
Jimly Asshidiqie. “Meski MK telah mencabut UU KKR, KKR untuk Aceh tetap bisa
dibentuk. Pembentukannya bisa didasarkan pada UUPA. KKR Aceh tidak terkait
dengan UU KKR. Itu ada kaitannya dengan UUPA sendiri (detiknews. 8/12/2006)”.
Tidak alasan sebenarnya bagi DPR Aceh untuk menunda-nunda lagi. Kita paham
bahwa Qanun KKR ini tidak dapat menjangkau sampai ke pelaku diluar Aceh. Untuk
urusan itu biarkan mekanisme lain tingkat nasional nantinya akan menjawab. Yang
penting usaha itu harus diawali dari Aceh. Setidaknya kalau KKR Aceh ini
terbentuk sesuai keinginan korban dan berjalan sesuai jalurnya. Insya Allah 70
persen keinginan korban sudah terpenuhi. Semoga tahun 2013 ini menjadi tahun
yang baik bagi korban, dan Doto Zaini serta Mualem mau
merealisasikan
cita-cita mulia tersebut.*