Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Kamis, 17 November 2011

Sekarung Tulang di Wira Lanao


Hak Asasi Manusia - 2010-04-21 | 1566 Kata | 709 Hits
Oleh : Feri Kusuma

POS Brimob di Wira Lanao dikenang warga sebagai pos paling kejam di kabupaten Aceh Timur  saat itu. Polisi-polisi  sering melakukan razia di depan pos mereka, selain berpatroli di desa-desa sekitarnya. Mereka menangkap warga. Mereka menghentikan sepeda motor terutama yang berjenis RX King, terlebih bila pengendaranya berpostur tegap. Mereka lalu membawa orang ini masuk ke pos.

Untuk diinterogasi dan diancam,” kata Raniah, salah seorang warga.
Suatu hari Raniah mendengar tangis perempuan dari arah ruang depan bekas pabrik Wira Lanao, yang telah beralih fungsi sebagai pos Brimob. Perempuan itu kemudian bicara padanya dari balik jendela berjeruji itu.
“Tolonglah dek, tolong rayu Pak Samsul agar mengeluarkan kakak dari sini, tutur Raniah, meniru permintaan perempuan tersebut. Samsul adalah nama salah seorang anggota Brimob di pos itu.
Raniah tak berani meloloskan permintaan perempuan tadi. Dia membantu ibunya menjaga warung kecil mereka yang berada di depan pabrik. Raniah takut tindakannya kelak membuat warung mereka dibongkar Brimob, sehingga keluarganya kehilangan sumber pemasukan.
“Saya katakan, saya tidak berani kak. Kakak itu menangis. Saya merasa kasian. Saya beri dia minuman kaleng. Setelah itu saya pergi meninggalkannya, tutur Raniah.
Dia berusia 15 tahun waktu itu dan akrab dengan beberapa anggota Brimob yang jadi pelanggan warungnya.

Raniah juga beberapa kali  melihat beberapa perempuan muda, cantik, berumur sekitar 20 sampai 25 tahun dibawa polisi-polisi itu ke pos. Dia yakin para perempuan tadi adalah pacar mereka yang bertugas di situ, karena  diperlakukan dengan sopan. Sikap tersebut bertolak belakang dengan perlakuan aparat terhadap kaum lelaki yang ditangkap atau ibu-ibu yang sengaja datang untuk minta agar anggota keluarganya dibebaskan. Selain itu, Raniah juga curiga ada praktik pelacuran dalam pos.
Teungku Arifin, warga desa Krueng Lingka, adalah orang yang paling dicari aparat di pos Wira Lanao. Krueng Lingka adalah tetangga desa Buket Seulamat, tempat pos itu berada.
Arifin dituduh terlibat Gerakan Aceh Merdeka atau GAM. Pada 23 November 2003, sekitar pukul 12.00 siang, dia ditangkap di tempat persembunyiannya oleh pasukan Brimob Palapa. Waktu itu nama komandannya Esty Nugroho. Arifin tak ingat lagi pangkat sang komandan.
Dia dibawa ke salah satu ruangan di pos Wira Lanao, dalam keadaan dirantai. Dia lantas dipukuli. Sekujur tubuhnya disetrum.
Arifin juga dipertemukan dengan tahanan lain dan aparat menanyakan apakah dia mengenal mereka.
Selama 15 hari ditahan, Arifin telah bertemu dengan empat orang yang diingatnya bernama Zulkifli, Zakir, dan Teungku Razali Abu dan satu orang lagi yang dia tak ingat namanya, yang dituduh menggerakkan massa untuk menuntut referendum Aceh.
Ketika diintergorasi, Arifin pernah diancam akan dimasukkan dalam timber atau tempat pengawetan kayu. Dia juga mendengar dari sesama tahanan bahwa ada orang yang dibakar dalam ban dan baunya sangat menyengat.
Dia lalu dipindahkan dari pos itu ke Lembaga Permasyarakatan Lhokseumawe, Aceh Utara.
Sebenarnya di LP (lembaga permasyarakatan) hanya transit sebentar untuk dikumpulkan dengan tahanan lain untuk dibawa ke daerah pulau Jawa dengan kapal laut. Saya di bawa ke Lamongan, Jawa Timur, tutur Arifin pada saya.
Beberapa jam setelah dia ditangkap, anggota Brimob juga menangkap Teungku Razali Abu, yang dipertemukan dengannya hari itu juga. Kelak Razali Abu meninggal dunia dalam penyiksaan di pos ini.
Dua tahun sebelumnya, seseorang yang dikenal warga sebagai Teungku Idrus juga ditangkap Brimob dan  dibawa ke pos tersebut. Sejak itu Teungku Idrus tak pernah keluar lagi dalam keadaan hidup.

KEBERADAAN pos Brimob di Wira Lanao tak lepas dari pembakaran pabrik itu oleh sejumlah orang pada 28 Januari 2000. Mess pekerja dan kantin pabrik juga mengalami nasib sama. Kejadiannya sekitar pukul sepuluh malam.  Selain Wira Lanao, gudang pabrik Tegas Nusantara dan Tjipta Rimba Djaya di desa Sungai Raya juga dilalap api.

Wira Lanao adalah perusahaan penebangan kayu yang telah beroperasi sejak tahun 1970 dan izin hak pengusahaan hutannya diperpanjang sampai 28 Agustus 2010 nanti, dengan luas area penebangan 55.925 hektare. Di masa Soeharto, menteri kehutanan Hartarto pernah meresmikan pabrik ini. Pemiliknya pengusaha Tionghoa asal Singapura.

Kerugian akibat kebakaran itu ditaksir puluhan milyar. Selain itu, dua mobil Isuzu Panther ikut dirampas pelaku pembakaran.

Pabrik Wira Lanao terletak di desa Buket Selamat, kecamatan Sungai Raya. Dulu Sungai Raya masuk wilayah kabupaten Aceh Timur, tapi setelah pemekaran pada 2001, ia jadi bagian dari kabupaten Langsa.
Tiga mobil pemadam kebakaran datang ke Wira Lanao. Aparat keamanan pun menuju lokasi kebakaran ini,  termasuk Letnan Kolonel Polisi Abdullah Hayati, Komandan Brigade Mobil (Brimob) Sektor C, Letnan Kolonel Polisi  Priyatna dan Letnan Satu Polisi Nurodin selaku kepala reserse.
Namun, polisi tak berhasil menangkap pelaku.

Akibat kebakaran  itu Wira Lanao terpaksa menghentikan usahanya dan memutuskan hubungan kerja dengan 1.700  buruh tanpa memberi mereka pesangon. Para buruh protes. Mereka kemudian menuntut perusahaan membayar 100 persen upah mereka. Tapi Wira Lanao hanya bersedia membayar 75 persen upah ditambah sisa bonus sebesar Rp 50 ribu.

Tak berapa lama Pos Brimob pun berdiri di bagian muka pabrik. Sisa-sisa pos Brimob itu masih tampak di tiang gapura sampai kini. TulisanSatuan II Pelopor” tertera jelas di situ.
 “Nama satuannya sering berganti-ganti,” kata Teungku Husaini, bekas pekerja Wira Lanao.

DULU di bagian belakang pabrik Wira Lanao ada kolam untuk pembuangan limbah. Bentuknya persegi panjang, berukuran 120 x 15 meter. Kini kolam itu berisi lumpur. 

Pada 29 Maret 2010, pukul empat sore, Jamaluddin sedang mengorek-orek kolam tersebut untuk mencari kayu yang terbenam di dalamnya. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu dan dia mengeluarkannya dari lumpur. Ternyata sebuah karung. Dia sempat tercenung, lalu  menusuk karung itu hingga tumpahlah tulang-belulang yang sudah hancur dan patah-patah dari dalamnya. Nurjannah, seorang perempuan yang sedang menggembala kerbau menyaksikan perbuatan Jamaluddin itu.

“Saya tanya ada apa di situ. Dia bilang ada karung berisi tulang. Saya langsung ajak dia untuk melaporkan kepada imam desa,” kisah Nurjannah.

Di tengah perjalanan ke rumah imam desa, keduanya bertemu dengan Sair yang pernah bekerja di Wira Lanao. Belum selesai Nurjannah menjelaskan apa yang terjadi, Sair sudah bergegas ke kolam itu. Akhirnya mereka bertiga memeriksa karung tersebut. Tulang-tulang  dikeluarkan dari karung dan disatukan di wadah adukan semen. Namun mereka tidak menemukan tulang tengkorak atau gigi dalam karung seberat kurang lebih 15 kilogram tadi.


Sair yakin bahwa tulang-tulang itu berasal dari rangka manusia yang dibakar untuk menghilangkan jejak. Sair makin yakin lantaran dia juga menemukan tulang sulbi atau tulang ekor

Dalam karung juga terdapat beberapa biji paku ukuran 30 inci, sisa-sisa arang, selongsong peluru dan beberapa batu seberat 10 kilogram. Diduga batu-batu ini untuk memberatkan karung agar posisinya tetap terendam dalam air. Kehadiran paku-paku itu berkaitan dengan kepercayaan si pelaku terhadap dunia mistik. Untuk menenangkan arwah si korban, maka sebatang paku ditancapkan di tubuh korban, sehingga tak menghantui si pembunuh.
Penemuan tulang-tulang ini lalu dikaitkan dengan Pos Brimob di Wira Lanao, yang beroperasi dari tahun 2000 sampai 2005, sebelum Perjanjian Damai Helsinki ditandatangani.

Warga bahkan mendengar ada orang yang dibakar hidup-hidup saat diinterogasi di situ.
Penemuan kerangka ini mengundang perhatian warga desa Buket Selamat. Mereka beramai-ramai mendatangi bekas kolam limbah itu. Tim Kepolisian Resor (Polres) Kota Langsa dan Kepolisian Sektor (Polsek) Sungai Raya datang, kemudian memasang garis polisi di tempat tersebut. 

Kapolsek Sungai Raya, Maswar,  memotret tulang-tulang itu. Tapi dia sama sekali tak mencegah warga membongkar tulang-tulang tersebut. Tulang-tulang itu kemudian dimandikan di Meunasah oleh Teungku Karimuddin, imam lorong Simpang Damai. Seusai shalat Maghrib, tulang-tulang tadi dimakamkan.
“Kerangka ini berkisar antara empat atau lima orang lah,” kata Karimuddin.

Namun, anehnya Polres Kota Langsa menyatakan tulang-tulang tadi bukan berasal dari rangka manusia.
Karena tidak ada indikasi kerangka tersebut tulang manusia. Karena tidak ditemukan rambut, tulang tengkorak, gigi. Tapi usia tulang tersebut berkisar tujuh tahun yang lalu,” kata Denny Herry W, dokter dari Polres Kota Langsa.

Lucunya, ketika ditanya apa alat yang digunakan polisi untuk memeriksa tulang-tulang itu,  mereka mengatakan tidak menggunakan alat apapun. Polisi hanya mengandalkan pendapat dokter, yang juga tak berdasarkan uji laboratorium.

Sebenarnya ahli forensik yang paling berwenang mengidentifikasi jenis tulang tersebut. Para ahli forensik memiliki kemampuan menggabungkan teknik berbagai ilmu yang melibatkan ilmu kedokteran, antropologi, arkeologi, sosiologi, dan hukum. Penggalian jasad atau rangka juga harus dilakukan dengan hati-hati, sehingga mengurangi kerusakan dan tidak mengubah permukaan serta penempatannya. Kesalahan dalam metode penggalian akan merusak barang bukti. 

Jika kerangka di Wira Lanao adalah kerangka manusia, maka ia jadi barang bukti pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Keterlibatan lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sangat penting untuk melakukan penyelidikan kasus pelanggaran HAM ini. Pengungkapan kebenaran ini pun penting bagi pembangunan perdamaian Aceh yang permanen.

Pihak kepolisian ternyata tak sepakat pada penyelidikan lanjut. Mereka  beranggapan sebaliknya.
“Kalau kita ingin membangun perdamaian yang permanen maka kita harus melupakan masa lalu, cetus Komisaris Polisi Armujito SIK.

Padahal tak akan ada perdamaian, tanpa keadilan.

Beberapa negara telah melakukan upaya untuk mengungkapkan pelanggaran HAM yang dilakukan rezim militernya, termasuk Spanyol dan Yunani. Negara bekas konflik seperti Sierra Leone bahkan mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Para pelaku kejahatan kemanusiaan di kedua pihak yang bertikai mengakui tindakannya dengan memberi kesaksian di depan komisi tersebut, sehingga keluarga korban pembunuhan atau penghilangan paksa dapat mengetahui di mana anggota keluarga mereka dikubur atau dilenyapkan. Komisi yang sama juga lahir di Afrika Selatan dan membuat orang-orang yang bertanggung jawab dalam pembantaian mengakui kesalahannya. Rekonsiliasi hanya dapat berlangsung di atas landasan kebenaran dan keadilan semacam ini. 

Tulang-tulang dari Wira Lanao telah dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum di Simpang Damai, di tepi jalan raya Banda Aceh-Medan. Tulang-tulang itu kini berisirahat dalam satu liang. Namun, warga desa berharap pemerintah menyelidiki siapa yang tulang-tulangnya kini bersatu dengan tanah, dan bagaimana mereka bisa berada dalam karung di kolam limbah itu.***

*) Fery Kusuma adalah kontributor Aceh Feature di Aceh.  Dia bekerja sebagai Wakil Koordinator Bidang Investigasi dan Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh.

0 komentar:

Posting Komentar