Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Jumat, 18 November 2011

Menjaga Damai, Membuka Kebenaran

Kamis, 17 November 2011

Oleh : Feri Kusuma

Isu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR kembali muncul dalam diskusi yang mendorong penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia melalui mekanisme non judicial ini di kantor Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU) pada 20 Agustus 2010.
“Kita tetap harus semangat melakukan sesuatu untuk mendorong pelurusan sejarah kemanusiaan yang tercerai-berai. Agar kasus serupa tidak terulang kembali di masa selanjutnya,” kata Murtala, ketua K2HAU.
Diskusi komunitas korban konflik ini diawali  pemutaran film dokumenter berdurasi 60 menit tentang proses pengungkapan kebenaran versi komunitas korban yang diselenggarakan pada peringatan 11 tahun tragedi Simpang KKA, Aceh Utara, 3 Mei 2010 lalu. Bagian pertama film tersebut memperlihatkan cuplikan pembantaian masyarakat sipil di simpang KKA oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 3 Mei 1999. Fauziah Ibrahim  langsung beranjak keluar ruangan ketika adegan tersebut muncul. Ia masih trauma mengingat kejadian yang merenggut nyawa anaknya Saddam Husein. Ia masih ingat ketika Saddam Husein meminta gendong sebelum ditembak. Setelah adegan itu selesai, Fauziah masuk kembali ke ruangan, menonton dan mengikuti proses diskusi sampai akhir. Ia berharap pemerintah peduli pada  pemulihan dirinya. Selama ini yang mendukung dan  menguatkan mentalnya hanya teman-teman sesama korban.
“Konseling untuk korban itu sangat penting agar mereka kuat secara mental. Kalau sudah kuat dengan sendirinya mereka akan memiliki semangat kembali,” kata Saifuddin, pengurus K2HAU.
Trauma yang dialami Fauziah baru satu contoh saja.
“Kita tidak dalam konteks menyalahkan si A atau si B. Yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat mewujudkan kebenaran dan keadilan untuk korban dan memulihkan kondisi traumatis,”  kata Mawardi yang juga bergabung dengan K2HAU, mengawali diskusi.
Peserta diskusi menyadari bahwa membentuk KKR bukan hal  mudah. Ini pertarungan politik. Mekanisme KKR yang sejatinya jadi alternatif penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia tak kunjung dapat tanggapan positif dari pemerintah dan parlemen. Di tingkat nasional, rancangan undang-undang  KKR sebagai rujukan pembentukan KKR Aceh belum ada tanda-tanda dibahas. Dorongan pemerintah dan parlemen Aceh terhadap pemerintah pusat juga tidak sekuat  desakan mereka dalam hal pemberian kewenangan kepada Dewan Kawasan Sabang yang hendak membuka pelabuhan bebas itu, yang beberapa hari terakhir menyemarakkan berita suratkabar.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam pernyataannya di Serambi Indonesia, 18 Agustus 2010, tetap menunggu pemerintah pusat mensahkan Undang-Undang KKR Nasional. Namun, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdal Kasim menilai pembentukan KKR tidak harus menunggu UU KKR karena Undang-Undang Pemerintah Aceh dapat jadi landasan hukum utama dan fundamental (primary norm) untuk membentuk KKR Aceh.
Saling lempar tanggung jawab antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Aceh makin meredupkan harapan korban dan masyarakat Aceh yang berkeinginan dan optimistis KKR di Aceh dapat dibentuk lewat konsensus politik di daerah.
Selain soal KKR, ternyata banyak kalangan di Aceh yang bahkan belum mengetahui peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu,  termasuk mahasiswa yang dulu disebut sebagai agen perubahan itu.
“Mahasiswa sekarang lebih banyak yang apatis. Kita harus membangitkan kembali semangat juang mahasiswa seperti yang kita ketahui jiwa peloporannya yang telah meruntuhkan rezim otoriter di Indonesia,” kata Mandasari, mahasiswa Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe.
“Jujur saya mengatakan. Mayoritas mahasiswa tidak mengetahui apa yang pernah terjadi di Aceh sebelum perdamaian. Ironisnya lagi tidak ada kesadaran dari mereka untuk mengetahui perihal tersebut,”  kata Rizal, yang juga mahasiswa di Universitas Malikul Saleh.
Hal ini bisa dimaklumi. Sebab di masa konflik banyak peristiwa pelanggaran HAM  tidak jadi berita suratkabar. Sensor terhadap media terjadi di masa tersebut. Penjelasan resmi hanya datang dari militer atau pejabat yang ditunjuk. Warga juga takut bersaksi. Sebab jiwa mereka akan terancam. Kebenaran bagai tersembunyi dalam tembok.
Samsul Bahri IB, salah satu dari yang hadir, berkata,“ Yang perlu diingat juga. Sekarang sedang berjalan politik adu domba. Sesama elemen masyarakat sedang diadu domba oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan perdamaian. Tugas kita harus menyatukan itu. Jangan sampai lepas dari konflik vertikal terjerumus dalam konflik horizontal.”
“Kita jangan lupa bahwa di Aceh sebenarnya ada tradisi yang dapat mengeratkan kembali tali silahturahmi yang selama ini putus. Untuk menyambung kembali, kita dapat melakukan acara-acara seperti kenduri aneuk yatim, doa bersama baik untuk yang sudah mati ataupun yang masih hidup. Media itu juga dapat kita gunakan untuk menyampaikan tentang pentingnya masyarakat mendorong pemerintah untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan di masa konflik, “ kata Tengku. Baktiar, perwakilan korban Bireuen.
Amiruddin, ketua komisi A Dewan Perwakilan Rakyat KabupatenAceh (DPRK) Utara, yang datang lima belas menit sebelum buka puasa, mengatakan bahwa lembaganya sudah berusaha sesuai dengan kewenangan mereka mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk memasukkan Qanun KKR dalam prolega 2010. Tapi selidik punya selidik, ternyata rekomendasi DPRK  itu mengendap di bagian kesekretariatan.
“Negara ini sistemnya masih rumit,” katanya, menyarankan  untuk menanyakan langsung apa hambatan di tingkat DPRA sehingga Qanun KKR itu tidak dibahas.
Diskusi  ini melahirkan beberapa kesepakatan,  antara lain menyatukan  gerakan korban dengan gerakan mahasiswa, juga berbagai unsur dalam masyarakat seperti ulama, santri, legislator, aktivis, dan pelajar  di Aceh untuk mengawal perdamaian tanpa mengabaikan hak-hak korban pelanggaran HAM di masa konflik.***

0 komentar:

Posting Komentar