Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Rabu, 19 Februari 2014

Catatan Linda Christanty

Tidak banyak orang berani memilih hidup jadi pembela kemanusiaan.  Pihak-pihak yang dulu berkonflik tidak ingin tindakannya diusut atau diperkarakan lagi, sehingga mereka melakukan berbagai cara untuk mencegahnya. Di lain pihak, orang-orang yang selamat dari penyiksaan dan kekerasan itu menaruh harapan besar pada orang yang menyuarakan nasib mereka hingga selalu bertanya, “Kapan pembunuh orangtua kami diadili? Kapan anak kami kembali? Berapa tahun lagi? Berapa bulan lagi? Kapan pastinya?” Pertanyaan-pertanyaan ini selalu  menghantui pikiran dan perasaan, sehingga membuat para aktivis ingin bekerja lebih keras dan kadangkala, putus asa, begitu upaya tersebut menemui jalan buntu dan hal itu sering terjadi di negeri dengan hukum yang bisa diperjualbelikan serta tunduk pada senjata.

Apa yang harus dikatakan pada orang-orang yang berharap? Bagaimana mengatakannya? Kadangkala semua orang lupa bahwa pembela yang paling tangguh sekalipun bukanlah tukang sulap dengan tongkat ajaib. Namun, mustahil mengatakan hal seperti ini pada orang-orang yang menderita dan nyaris tidak memiliki apa pun selain harapan. Dan setiap pejuang memang sudah digariskan untuk tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, melainkan lebih memikirkan orang lain.

Feri Kusuma bertahun-tahun bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia  dan  dia mengalami apa yang saya ungkapkan tadi. Saya mengenalnya pertama kali di Aceh ketika dia masih bekerja di Kontras Aceh.  Dia seorang pekerja lapangan yang gigih dan senang belajar. 

Feri kemudian menulis untuk Aceh Feature, sindikasi media di Banda Aceh, sebagai kontributor. Saya menjadi editornya. Tulisan-tulisan  Feri sering membuat  saya  tidak sanggup untuk menyuntingnya. Bukan karena tulisan itu begitu ruwet dan mematahkan semangat  saya, melainkan karena saya menyimak cerita yang tak terbayangkan bisa dilakukan manusia yang beradab terhadap sesamanya dan tindakan tersebut nyata.

Tulisan-tulisan  Feri juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang punya peran terbesar dalam memusnahkan speciesnya sendiri dibandingkan binatang-binatang terbuas di dunia ini. Manusialah yang menghancurkan manusia, sama seperti mereka menghancurkan alam atau lingkungan. 

Konflik bersenjata  selama hampir 30 tahun di Aceh, antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka telah mengorbankan ribuan orang sipil, laki-laki, perempuan, anak-anak, orangtua, yang tewas, diperkosa maupun yang dihilangkan paksa.

Rekonsiliasi pascadamai di Aceh akan benar-benar terwujud apabila pelaku pelanggaran kemanusiaan itu mengakui kejahatannya atau diadili sesuai hukum yang berlaku. Feri dan teman-temannya telah bekerja keras untuk membangun jalan bagi tujuan tersebut. Jalan yang kelihatannya cukup panjang dan seandainya jalan itu tidak bisa diselesaikan generasi Feri, maka generasi berikutnya harus melanjutkan pekerjaan ini.

Tulisan-tulisan Feri ini tidak hanya memberi pengetahuan tentang berbagai pengalaman warga sipil Aceh  di masa konflik, tentang kehilangan dan kehancuran yang mereka alami, melainkan juga bagaimana mereka melanjutkan hidup sampai hari ini. Barangkali sejumlah orang yang tidak suka mengenang buruk dan pahitnya masa lalu akan berkata bahwa tulisan-tulisan ini tidak memberi semangat dan malah menyulut api baru. Namun, pikiran semacam itu bisa dibantah dengan mengatakan bahwa memilih diam, pembiaran dan menolak kebenaran adalah juga kejahatan kemanusiaan.

Tulisan-tulisan Feri juga dapat diperlakukan sebagai dokumentasi sejarah tentang konflik terpanjang dalam sejarah Indonesia.  Kita berterima kasih pada Feri, karena dia telah menulisnya untuk kita di sela-sela pekerjaan yang berat, penuh risiko dan menuntutnya untuk bergegas.*

Linda Christanty

0 komentar:

Posting Komentar