Pages

Subscribe:

Kodak

Kodak

Rabu, 09 November 2011

Kesaksian Nurhayati



Hak Asasi Manusia - 2011-01-14 | 861 Kata
Oleh : Feri Kusuma

NURHAYATI menceritakan pengalaman masa lalunya dengan berurai air mata.  Sejumlah perempuan dan ibu yang duduk di belakangnya ikut terhanyut dalam kesedihan Nurhayati. Mereka menangis.

Muhammad Nazir, anak sulungnya,  yang semula bersama anak-anak lain dan berdiri agak jauh dari Nurhayati berlari mendekatinya. Nazir kemudian menangis di sisi sang ibu. Aisyah yang duduk berhadap-hadapan dengan Nurhayati memberi sebotol air mineral pada Nazir, tapi anak laki-laki itu menolaknya. Aisyah tak putus asa dan kembali menyodorkan botol itu pada Nazir, selain memberi sebotol minuman serupa pada Nurhayati. Kali ini Nazir tak menolak.

“Saya belum pernah menangis seperti ini, karena Mama tidak pernah cerita. Mama hanya memberitahu sedikit tentang masa lalu,” kata Nazir, sambil mengusap air matanya. Nurhayati mengusap-usap pundak putranya.

Nazir masih belajar di kelas 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Sigli. Dia menamatkan sekolah dasarnya di Pusong, Lhokseumawe. Nazir bercita-cita jadi ustadz, tapi dia tidak bisa masuk ke pesantrean lantaran terbentur biaya.

“Dari mana biayanya. Saya tidak punya pekerjaan. Suami saya juga tidak bisa lagi kerja berat,” kata ibunya.

Azan shalat dzuhur berkumandang. Acara pengungkapan kebenaran masa lalu berhenti sejenak. Para ibu dan bapak, laki-laki dan perempuan yang hadir melaksanakan shalat berjamaah di Masjid  Al Azhar.

Selesai shalat dan makan siang bersama, acara yang digagas Komunitas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (K2PHAM) Aceh Utara ini dilanjutkan kembali dengan mendengar kesaksian Nurhayati.


PADA 3 Januari 1999, usia Nazir sebelas bulan. Di pagi hari itu warga Pusong panik gara-gara sebuah pengumuman dari mikrofon masjid. Seluruh warga diminta suara itu untuk berkumpul di pendopo atau kantor bupati.

“Siapa yang tidak mengindahkan pengumuman ini, segala sesuatu yang terjadi tanggung sendiri,” begitulah isi pengumuman tersebut.

Warga yang baru mengalami trauma akibat penerapan Daerah Operasi Militer atau DOM berhamburan menuju tempat yang disebutkan si pemberi pengumuman.

Nurhayati menggandeng tangan ibunya Fatimah, sedang Nazir dalam gendongan neneknya. Mereka menuju kantor bupati.

Tiba-tiba senjata tentara Indonesia menyalak. Peluru menembus kaki kiri Nazir yang masih bayi dan peluru itu merobek perut neneknya. Usus Fatimah terburai. Darah membasahi pakaiannya. Nurhayati terkena tembakan di tangan kiri, kaki kiri dan pantat.

Ketiganya dibawa ke Rumah Sakit Umum Cut Meutia. Namun Fatimah baru dioperasi di hari ketiga setelah peristiwa itu. Dia meninggal dunia keesokan harinya. Kaki Nazir yang terkena peluru pun baru dibedah pada hari kelima sesudah penembakan.

“Suami saya Abdullah Sali Abidin juga mengalami penyiksaan ketika hendak menjenguk kami di rumah sakit. Ia mulanya di siksa di Simpang Jam, kemudian dibawa ke Gedung KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Lhokseumawe,” kenang Nurhayati.

KNPI adalah organisasi massa pemuda Golkar, partai pemerintah Soeharto.

Di gedung itu Abdullah dan sejumlah warga disiksa dan ditahan tentara.

“Akibat penyiksaan, suami saya tidak bisa lagi bekerja berat karena sering mengalami sakit,” tutur Nurhayati.

Tidak hanya suaminya, abang Nurhayati juga disiksa dalam gedung tersebut.

Nurhayati kemudian menunjukkan bekas luka tembaknya.

“Saya sekarang meskipun secara fisik baik, tapi dalam hati masih sangat terluka. Saya sering mengalami serangan jantung,” katanya.

Hari itu, 9 Januari 2011, merupakan puncak peringatan 12 tahun tragedi Pusong, tragedi Kandang,  dan penyiksaan di Gedung KNPI. Ketiga peristiwa ini saling berkait.

Pada 3 Januari 1999, tujuh warga sipil meninggal dan 23 luka-luka di Pusong akibat tindakan militer. Pada  9 Januari 1999 satu orang meninggal dunia, 40 orang ditangkap dan satu rumah warga dibakar di Kandang.

Warga yang ditangkap di Pusong dan Kandang dibawa ke Gedung KNPI. Di gedung ini lima orang meninggal dunia dan 44 orang luka-luka akibat penyiksaan. Para pelakunya adalah tentara Indonesia di bawah komando Mayor Bayu Nadjib. Mereka sempat divonis bersalah oleh pengadilan militer, tapi tidak ada yang tahu tempat mereka ditahan.

“Sejarah jangan dilupakan. Perlu diberitahu kepada generasi selanjutnya. Agar mereka dapat belajar dari masa lalu. Saya tidak ingin lagi mengalami seperti itu di masa yang akan datang. Cukup saya saja,” tutur Nurhayati.

Warga Pusong menggelar doa bersama untuk mengenang tragedi tersebut, sedang komunitas korban menyelenggarakan pengungkapan kebenaran versi korban. Suadi Yahya, wakil walikota Lhokseumawe, dan Saifuddin Yunus, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Lhokseumawe ikut hadir dalam peringatan ini.

Proses pengungkapan kebenaran versi korban berlangsung empat jam di Masjid Al-Azhar. Para komisioner terdiri dari seorang perwakilan korban, seorang tokoh masyarakat dan tiga tokoh perempuan yang dipilih komunitas korban. Yang memberi kesaksian adalah empat perempuan dan satu laki-laki.

“Kami melakukan ini agar pemerintah dapat mencontoh pada apa yang kami lakukan. Mungkin mereka tidak tahu cara membuat KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi). Maka kami buat sendiri. Kami berharap pemerintah dapat membuat lebih baik dari kami, dapat menghadirkan pelaku, dan dapat memberikan pemulihan bagi korban,” kata Murtala dari K2PHAM.

Saifuddin Yunus memberi sambutan dan berkata, ”Pemerintah harus tegas terhadap penegakan hak asasi manusia dan harus ada penyelesaian masa lalu. Kalau tidak, saya selaku unsur pemerintahan malu dan berdosa kepada warga.”

Namun, Nurhayati masih belum puas dengan acara kesaksian. Dia juga membutuhkan ganti rugi pemerintah atas perilaku aparat militer terhadap dirinya dan keluarganya.

Nazir mulai tersenyum ketika melihat ibunya berhenti menangis. Dia mulai bermain lagi dengan teman-temanya. Tapi kadang-kadang kegembiraan itu terhenti saat bekas luka tembak di kakinya tergesek sesuatu.

“Ini (sambil menunjuk pada bekas lukanya) kalau di tekan kuat masih sakit. Kalau tergesek mata kaki kanan juga sakit. Kalau sudah sakit di sini, badan saya langsung panas,” kata Nazir, yang diamini oleh ibunya. Dia berharap kakinya dapat diobati hingga sembuh.***



0 komentar:

Posting Komentar